Empat bulan ini saya menjalani profesi baru, menjadi asisten profesor di sebuah universitas. Sebelumnya saya bekerja di institusi riset. Meski perubahan profesi ini terlihat smooth, ada hal dasar yang membedakan antar keduanya.
Persamaan luaran institusi riset dan pendidikan terletak pada publikasi. Dua-duanya menilai publikasi sebagai luaran. Namun ada perbedaan mendasar antar keduanya, yakni pada sisi authorship. Sebagai periset, menjadi penulis utama adalah tolok ukur keberhasilan periset yang bersangkutan. Hal ini berbeda dengan profesi dosen di institusi pendidikan.
Di institusi pendidikan, tolok ukur utama keberhasilan adalah ketika bisa mendidik mahasiswa untuk menjadi penulis pertama dalam sebuah publikasi, entah itu conference paper atau pun jurnal. Seperti dalam tulisan saya sebelumnya, menjadi penulis pertama artinya menjadi kontributor utama. Disini lah letak keberhasilan itu, mendidik mahasiswa untuk berkontribusi dalam sains dan riset. Bukan menjadikan dirinya sebagai penulis pertama.
Bagaimana seharusnya menilai kinerja periset dan dosen?
Karena tolok ukur keberhasilan yang diusulkan di atas tadi berdasarkan keberhasilan menjadikan mahasiswa sebagai penulis utama, maka setidaknya ada dua kriteria untuk menilai periset dosen. Kriteria pertama dengan banyaknya (kuantitas), kriteria kedua dengan seberapa baik kualitas paper atau journal yang diterbitkan. Untuk kriteria pertama cukup jelas, misalnya berapa jurnal publikasi per tahun. Untuk kriteria ada beberapa metrik/standard yang bisa dipakai. Cara pertama, yang saya usulkan, adalah dengan memakai metrik Google Scholar, yakni kualitas publikasi dinilai dari masuk tidaknya jurnal atau conference (keduanya dipukul rata) tersebut dalam Google Top 20. Misalnya bidang saya, acoustic and sound, ada pada list berikut. Cara ini cukup efisien dan fair, tidak peduli entah dia jurnal atau conference paper. Cara kedua yakni dengan menggunakan quartile Scopus, yakni publikasi (hanya jurnal) harus masuk antara Q4 sampai Q1. Semakin tinggi nilai Q-nya, semakin tinggi bobot kualitasnya. Namun ada kelemahan dalam cara kedua ini, yakni bagaimana menilai conference paper? Padahal conference paper dewasa ini keterbaruannya lebih tinggi daripada jurnal karena frekuensi penyelenggarannya tahunan.
Masalah selanjutnya adalah dalam penilaian kinerja periset atau dosen. Karena perbedaan authorship luaran diatas, maka penilaiannya harus dibedakan pula. Tidak seharusnya dosen dinilai dari sisi penulis pertama; sebaliknya hal tersebut berlaku pada periset. Dosen hendaknya dinilai dari kualitas dan kuantitas publikasi yang dihasilkan, yang besar kemungkinan berbanding lurus dengan jumlah mahasiswa yang diluluskannya.