Friday, October 30, 2020

10 hal pengubah hidup!



Dalam sebuah pidatonya dalam upacara wisuda University of Texas at Austin pada Mei 17, 2014., admiral William H. McRaven (dari US Navy) menjelaskan 10 pelajaran yang bisa dipetik dari sistem pendidikan Navy Seal. Sepuluh pelajaran tersebut dibukukan dalam karyanya, "Make Your Bed: 10 Life Lessons from a Navy SEAL". Berikut daftar sepuluh hal pengubah hidup tersebut.
  1. Merapikan tempat tidur setelah bangun
  2. Memilih teman (hidup) yang seirama
  3. Menghormati semua orang
  4. Teruslah bergerak, apapun yang terjadi
  5. Jangan takut gagal
  6. Berani mengambil resiko
  7. Jangan mundur
  8. Bersiap untuk yang terburuk
  9. Jangan pernah berhenti berharap, teruslah bernyanyi!
  10. Jangan pernah menyerah

Sepuluh hal itu mungkin sepele. Coba dengarkan video di atas. Sepuluh hal tersebut akan menjadi berbeda, dan bisa saja mengubah hidup kita 180 derajat.

Monday, October 19, 2020

Teknik Pendakian Turun: Meghindari Lutut Sakit dan Telapak Kaki Melepuh (blister)

Pada artikel sebelumnya telah dijelaskan teknik pendakian naik (ascending/uphill). Tulisan ini membahas teknik pendakian turun (descending/downhill). Pada saat turun, potensi sakit dan letih lebih besar karena kita tidak menyadarinya. Umumnya kita mengira turun lebih mudah dan sedikit membutuhkan tenaga (memang begitu nyatanya!). Namun banyak potensi sakit dan cedera di saat turun. Dua hal yang umum adalah lutut sakit dan jempol kaki melepuh (kadang diikuti oleh bagian kaki lainnya).
Dua pendaki berjalan pelan dengan langkah pendek menuruni gunung


Lutut Bebas Sakit (Ankle pain-free downhill)

Selain berolahraga (latihan seperti video di bawah), teknik dibawah ini dapat mencegah lutut sakit saat turun gunung. 
  1. Menggunakan tongkat, gunakan tongkat sebagai tumpuan dan alat bantu (mengontrol) turun. 
  2. Bertumpu pada tumit (heel strike first), bukan pada bagian telapak kaki bagian depan. 
  3. Menyeimbangkan pinggul: saat turun gerakkan pinggul ke bawah untuk mengimbangi pergerakan (bukan malah tegak lurus seperti rest step). Tetap merendah (stay low) dan bengkokkan lutut anda (bent your knee).
  4. Muscle up: memperkuat otot lutut ketika menjejak. Berdasarkan hasil sebuah studi, otot lutut menerima beban 7-8 kali lebih banyak ketika turun daripada ketika naik. Jika tidak dikontrol (ditahan) dengan baik maka akan menyebabkan lutut sakit karena menerima beban/tekanan berlebih. Cara mengontrolnya adalah dengan menguatkan/mengeraskan otot lutut ketika menjejak.
  5. Jangan turun terlalu cepat (jangan lari). Awali dengan gerakan lambat (start slow). Awalnya saya beranggapan kalau turun dengan cepat itu akan mengurangi kelelahan/sakit di kaki (khususnya lutut). Ternyata anggapan ini salah total. Secara fisika jelas, F=ma dan P=F/A. Jadi, naiknya kecepatan (aka percepatan) akan menaikkan gaya (force, F) dan tekanan (pressure, P). Aturan sederhana bagi saya, maksimal waktu untuk turun adalah setengah waktu naik. Jika naik saya butuh satu jam, maka paling cepat saya turun dalam setengah jam, tidak boleh lebih cepat dari itu. Idealnya, mungkin, adalah 3/4 waktu naik.

Perhatikan video berikut untuk lebih detailnya.

Menghindari Jempol Melepuh (Anti-blister downhill)

Penyebab blister (melepuh) adalah adanya tekanan yang berlebihan pada bagian tsb, khususnya jempol kaki. Jadi, langkah paling mudah adalah mengurangi tumpuan pada bagian tersebut. Sebaliknya, pada saat turun tumpuan kaki ada pada tumit, bukan pada ujung depan kaki (jari). Perhatikan video di bawah ini.

Teknik kedua agar kaki tidak melepuh saat turun gunung adalah dengan menggunakan sepatu yang pas (benar-benar pas, tidak kekecilan atau kebesaran). Jika anda hendak membeli sepatu (sebaiknya tidak online agar bisa dicoba), cek ukurannya dengan baik. Tanpa kaos kaki harusnya sepatu sudah (sedikit) nyaman; tidak jatuh saat digunakan melangkah. Ukur ukuran telapak kaki anda dengan teliti, caranya: letakkan telapak kaki di atas kertas, dan buat garis mengelilingi telapak kaki anda. Contohnya adalah ukuran kaki saya seperti di bawah ini, ukurannya 24.5 cm (Ukuran sepatu indonesia: 39.5). Tambah 1-1.5 cm, jadi 25.5 - 26.0 (41-42). Ini ukuran sepatu gunung paling pas buat saya (Ingat: hanya untuk sepatu gunung, tidak berlaku untuk pantofel dan sneaker).

Teknik ketiga untuk menghindari blister adalah dengan menggunakan kaos kaki khusus untuk mendaki. Kaos kaki ini biasanya berasal dari bahan wool. Pada kaos jenis tertentu (anti-blister shoes), ada juga yang menyebutkan pada tekanan berapa kaos kaki tersebut mampu menahan tekanan dari telapak kai.

Keempat, kencangkan tali sepatu dan tas anda. Ini biasanya saya lupa. Tahu-tahu, ketika sudah di bawah tali sepatu saya sudah lepas (karena tertutup gaiters maka tidak terlihat). Kalau perlu cek di tengah perjalanan turun.


Perawatan

Jika sudah terlanjur turun gunung dan kaki sakit, baik lutut atau telapak kaki. Satu-satunya perawatan yang ampuh adalah banyak istirahat, banyak minum dan makan. Istirahat bukan berarti bolos kerja/kuliah/sekolah, tapi memperpanjang waktunya, misal menyegerakan tidur. Jika lutut masih sakit, mengompressnya dengan es batu mungkin membantu. Banyak minum juga bisa membantu mengembalikan kondisi tubuh (selain banyak minum). Banyak minum ini harusnya juga dilakukan ketika naik dan turun gunung. Berdasarkan pengalaman pribadi, memakai supporter lutut (knee calf) sangat saya sarankan baik saat naik gunung atau perawatan ketika lutut sakit. Setelah dari Gn. Okushishiku, lutut saya sakit. Sehari memakai knee calf support, besoknya langsung sembuh, alhamdulillah. Knee calf support-nya sendiri saya beli di Watts seharga 100 yen.

Sebagai tambahan, video berikut memperlihatkan teknik sederhana pendakian naik dan turun.
Referensi:
[1] https://www.theoutbound.com/jen-weir/do-your-knees-hurt-when-hiking-downhill-here-s-why

Monday, October 12, 2020

Teknik Pendakian Naik: The Rest Step

Pada pendakian gunung Merapi pada tahun 2009, saya berkesempatan mendaki dengan seorang bule asal Spanyol. Ketika itu saya berkenalan dengannya di tengah perjalanan, dan saya lihat dia mendaki sangat cepat. Saya tanya, berapa waktu yang dia butuhkan untuk mendaki Semeru? "Lima jam pulang pergi!", katanya. Saya takjub. Dalam lima jam, saya berangkat dari pos Selo belum mencapai puncak. Dia sudah sampai puncak dalam waktu setengahnya saja. Saya amati langkahnya. Karena kakinya panjang, langkahnya juga panjang. Ditambah dengan stamina dan kecepatannya, tak heran kalau bule bisa mendaki gunung dengan waktu lebih singkat dari kita, umumnya sepertiga sampai setengah dari waktu yang kita butuhkan (dan bisa lebih singkat lagi). Sejak saat itu, saya perpanjang jangkauan langkah saya dengan harapan bisa memperpendek waktu pendakian.
Mendaki naik dengan rest step, langkah pendek, dan sedikit istirahat akan mengurangi tingkat kelelahan (Gambar: puncak oyama [Tateyama])


Pada pendakian Gunung Bessan (yang merupakan bagian dari pegunungan Tateyama), saya berjalan di belakang seorang Ibu. Kebetulan saat itu saya solo avonturir, teman-teman tinggal di tenda, mau onsen katanya. Saya perhatikan langkah ibu tersebut, lambat dan tegak. Hampir-hampir saja saya menyalipnya. Dan ketika hampir menyalip, napas saya terengah-engah. Akhirnya, dengan sabar saya berjalan di belakang ibu tersebut. Di sinilah cobaannya. Saya menahan diri untuk tidak istirahat selama ibu di depan saya tidak istirahat. Ibu di depan saya tersebut membawa peralatan lengkap, tas carrier 60L (liter). Sedang saya hanya membawa tas selempang berisi air minum. Dengan penuh perjuangan akhirnya saya bisa tetap di belakang Ibu tersebut sampai Tsurugigozenkoya, tempat yang memisahkah jalur pendakian ke Gunung Bessan dan Gunung Tsurugi.

Setelah pos Tsurugigozenkoya tersebut, saya menerapkan dua pelajaran yang saya dapatkan dari Ibu di didepan saya tadi: langkah pendek dan sedikit istirahat. Walhasil, perjalanan dari Raichosawa-Bessan-Masagodake-Raichosawa dapat saya tempuh dalam 4 jam (sesuai estimasi aplikasi Yamap). Langkah pendek dan sedikit istirahat, itulah kuncinya. Dengan langkah pendek, pelan, dan menghirup udara panjang, kita sudah sekaligus beristirahat dalam tiap langkah. Sehingga, istirahat yang lebih panjang tidak diperlukan lagi. Saya juga tidak mengalami kecapekan yang luar biasa setelah pendakian Gunung Tateyama, kaki normal tanpa penumpukan asam laktat di paha atau betis. Berbeda sekali dengan pendakian-pendakian sebelumnya (bisa juga karea bantuan "supporter betis/calf supporter" yang saya pakai). Dua teknik ini, langkah pendek dan sedikit istirahat, merupakan kunci untuk melakukan pendakian tepat waktu.

The Rest Step

Teknik yang saya ikut dari seorang Ibu di Tateyama di atas ternyata dinamakan "the rest step". Pada jalan biasa naik kita tidak berhenti; kita jalan terus-menerus tanpa memberi kesempatan kaki untuk beristirahat, kecuali di saat istirahat. Apa dasarnya, karena betis dan paha selalu dalam posisi bengkok; tidak pernah dalam posisi lurus (180 derajat). Rest step adalah kebalikannya, dalam sekali jalan posisi paha dan betis kembali 180 derajat setelah melangkah. Energi ketika paha dan betis pada kondisi lurus digunakan untuk menekan/menapak langkah selanjutnya. Perhatikan dua video berikut, dan ambil pelaran darinya! 


Untuk teknik pendakian turun, silahkan baca disini >> http://bagustris.blogspot.com/2020/10/teknik-pendakian-turun-meghindari-lutut.html.

Monday, October 05, 2020

Kemampuan Menjawab Pertanyaan

Salah satu kemampuan penting yang, menurut saya, belum ada metrik/ukurannya (seperti IQ dan EQ) adalah kemampuan menjawab pertanyaan. Kemampuan ini merupakan salah satu dari tiga dimensi berpikir kritis. Sering kita lihat pertanyaan "ya" dan "tidak" yang cukup hanya dijawab dalam hitungan detik dijawab secara bertele-tele bermenit-menit. Tulisan ini membahas apa saja aspek penting untuk meningkatkan kemampuan menjawab pertanyaan.

Tulisan ini dilatarbelakangi oleh pengalaman saya pribadi. Suatu saat co-supervisor saya menimpali jawaban saya, "Bagus-san, kamu cuma ditanya pertanyaan singkat dan sederhana, tapi kenapa jawabannya panjang dan bertele-tele. Saya melongo. Hah, benar. Ternyata selama ini saya tidak mempunyai kemampuan menjawab pertanyaan dengan baik. Beruntung saya mengambil kuliah "Scientific Discussion" di JAIST. Kuliah tersebut berisi prinsip-prinsip berlogika dalam berdiskusi, mencakup kemampuan menjawab pertanyaan.

Sering kita lihat di televisi, misalnya dalam acara dialog/debat, si penanya menanyakan A dan si penjawab menjawab B. Sering pula pertanyaan yang hanya membutuhkan jawaban "ya" atau "tidak" dijawab dengan bertele-tele.

Prinsip-prinsip dalam menjawab pertanyaan yang saya kemukakan di bawa ini sudah umum: singkat, pada, dan berisi. Urutannya saja yang saya rubah berdasarkan esensinya. Saya tambahkan prinsip keempat yang opsional, yakni memberikan referensi.
  1. Berisi (jawaban)
  2. Jawaban harus memuat dari apa yang ditanyakan. Jika pertanyaannya adalah pertanyaannya ya/tidak, maka harus ada salah satunya, ya atau tidak. Jika tidak ada, maka harus ada penjelasannya. Contoh lain: Apa kontribusi (novelty) penelitian anda? Jawaban: Kontribusi penelitian saya adalah XXX dan YYY.
  3. Singkat (short)
  4. Pertanyaan tidak hanya memuat jawaban, tetapi juga harus memuat alasan kenapa dijawab seperti itu. Justifikasi adalah argumen dan bukti/alasan (evidence). Jawaban adalah argumen, sedangkan bukti/alasannya harus singkat.
  5. Padat (dense)
  6. Jawaban atas pertanyaan harus padat, terutama pada alasannya. Misalnya, saya menjawab A karena B. B harus singkat dan padat. Singkat, seperti pada poin sebelumnya, hanya berisi alasan yang dibutuhkan, bukan alasan-alasan yang tidak dibutuhkan. Alasan-alasan yang tidak dibutuhkan tsb (data pendukung, bukan data utama) akan menyebabkan jawaban tidak padat.
  7. Berdasarkan Referensi atau Alasan
  8. Prinsip terakhir adalah jawaban harus berdasarkan referensi, jika ada. Misalnya, saya menjawab A berdasarkan referensi C. Saya menjawab C karena D. Saya memilih E karena F. Prinsip ini bisa jadi tidak dibutuhkan, misalnya dalam pertanyaan opini atau pendapat. Contohnya, apa warna kesukaan anda? Dalam hal seperti itu, argumen harus kuat, karena bisa jadi ada pertanyaan susulan. Banyak pertanyaan yang sudah ada jawabannya, dan kita tinggal menyitir/mensitasi saja. Jawaban yang berdasarkan referensi akan membuat posisi (jawaban) kita kuat, khususnya jika referensi tersebut bereputasi (misalnya dari jurnal SpringerNature dan Elsevier).
Itulah kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan untuk bisa menjawab pertanyaan secara tepat. Kita bisa menilai jawaban seseorang dari tiga prinsip di atas. Kita pun juga harus belajar kemampuan-kemampuan di atas agar bisa menjawab pertanyaan secara tepat, sebuah dimensi berpikir kritis.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...