Friday, October 27, 2023

Kapan mendengarkan apa kata orang (dan kapan tidak)

tl;dr: Kadang kita seharusnya mendengarkan kata orang, kadang kita seharusnya tidak mendengarkan kata orang

Kapan seharusnya tidak mendengarkan kata orang

Ada dua kisah diantara banyak kisah. Kisahnya Abu Thalib dan seorang yang menaiki keledainya bersama ayahnya. Abu Thalib ingin mengikuti agama nabi Muhammad diakhir hayatnya namun tidak jadi karena mendengarkan apa kata orang. 

Menjelang wafatnya, Nabi mengajak kembali pamannya Abu Thalib untuk bersyahadat, namun Abu Thalib menjawab, "Seandainya kaum Quraisy tidak mencelaku dengan berkata, 'Tidak ada yang mendorongnya mengucapkannya kecuali karena kesedihannya menghadapi maut,' niscaya aku mengucapkannya untukmu." 

Dari sini terlihat bahwa Abu Thalib lebih memilih apa kata orang daripada mengikuti ajakan nabi Muhammad. Abu Thalib tidak ingin dianggap oleh kaum Quraisy bahwa dirinya takut menghadapi kematian sehingga mengubah agamanya.

Cerita kedua adalah kisah masyhur tentang anak, bapak, dan keledai mereka. Suatu hari ada anak dan bapak yang akan melakukan perjalanan. Mereka adalah  2 orang yang tanggung. Si anak belum dewasa, ia masih remaja yang beranjak. Sedangkan si bapak adalah seorang yang sudah tidak muda lagi, namun belum terlalu tua. Mereka melakukan perjalanan menuju pasar menggunakan keledai tua, namun tubuhnya masih kuat. Hanya saja memang tubuh keledai umumnya berukuran kecil. 

Berangkatlah mereka. Si bapak menunggangi kuda, sedangkan anaknya jalan kaki. Di kampung pertama, mereka disoraki oleh wanita. "Kok, kamu yang naik, sedangkan anakmu yang kecil itu kelelahan berjalan dibelakang?" 

Mendengar itu si Bapak pun turun dari keledai dan menyuruh anaknya  untuk naik keledai. Kemudian tak berapa lama, mereka melewati segerombolan orang tua sedang duduk dibawah pohon. Mereka berkata "Mengapa kamu berjalan kaki, kamu kan sudah tua, sedangkan anakmu yang masih muda. Harusnya anakmulah yang jalan, dan engkaulah yang menunggangi kuda? Si anak pun kemudian turun.

Kemudian di desa lain mereka pun mendapat komentar lagi dari seorang pria berbadan tegap yang terluhat gagah. "Kok cuma satu orang yang naik keledai, kenapa enggak berdua ?". Mendengar itu merekapun menaiki keledai itu bersama-sama. Dua orang naik seekor keledai.

Mereka melintai kampung berikutnya. Tetapi, ditengah perjalanan, mereka melewati sekelompok orang pecinta binatang. Melihat pemandangan itu, para pecinta binatang ini berkomentar "Kasihanilah binatang yang kurus kering itu. Kalian berdua menungganginya, padahal kalian lebih berat dari pada keledai ini."

Mendengar itu, bapak dan anak ini lantas turun dari keledai. "Kalau begitu, mari kita berjalan bersama-sama dan kita biarkan keledai ini berjalan di hadapan kita." Kata si Bapak.

Tak habis sampai disitu mereka masih mendapat komentar lagi. Mereka bertemu orang yang sedang mabuk dan berkata.  "Yang pantas itu keledai yang menaiki kalian berdua, sehingga kalian dapat membuatnya terhindar dari kendala-kendala di jalan". Sang bapak yang terpengaruh omongan pun lansgung mengendong si keledai.

Namun di depan, mereka lagi lagi ditertawakan oleh orang-orang asbab pemandangan aneh itu. Kemudian si bapak  berhenti dan menoleh kepada anaknya sambil berkata, "Wahai anakku, jika mendengar dan mengikuti semua omongan manusia. Tidak akan ada habis - habisnya." Dan mereka berdua pun tertawa. [1]

Dari kisah ini kita mendapat pelajaran bahwa tidak perlu mendengarkan kata orang, selama apa yang kita lakukan itu baik.

Kapan seharusnya mendengarkan apa kata orang

Ada dua kisah juga. Kisah pertama saat sahabat menawarkan untuk membunuh munafiq di Madinah dan Nabi tidak mengiyakannya karena takut apa kata orang. Kedua, kisah saat nabi berjalan berdua bersama istrinya di malam hari dan sahabat menghindar.

Kisah pertama adalah seperti ini.

Setelah Rasulullah selesai menghadapi perang dengan Banu Mustaliq, ada dua orang dari kalangan Muslimin yang bertengkar memperebutkan mata air; yang seorang dari kalangan Muhajirin dan yang seorang lagi dari Anshar. Mereka yang dari Muhajirin berteriak: “Saudara-saudara Muhajirin!” Dibalas oleh Anshar: “Saudara-saudara Anshar!” Pada waktu itulah Abdullah bin Ubay bin Salul, pemimpin kaum munafik di Madinah berkata kepada orang-orang di sekitarnya: "Di kota kita ini sudah banyak kaum Muhajirin. Penggabungan kita dengan mereka akan seperti kata peribahasa: 'Seperti membesarkan anak harimau.' Sungguh, kalau kita sudah kembali ke Madinah, orang yang berkuasa akan mengusir orang yang lebih hina."  

Muhammad Husain Haekal dalam "Umar bin Khattab" menceritakan bahwa kata-kata Abdullah bin Ubai itu oleh sahabat disampaikan kepada Rasulullah, yang ketika itu ada Sayidina Umar bin Khattab . Umar naik pitam mendengar laporan itu dan katanya: “Rasulullah, perintahkan kepada Abbad bin Bisyir supaya membunuhnya.” Tetapi Rasulullah menjawab: “Umar, bagaimana kalau sampai menjadi pembicaraan orang, bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya sendiri. Lalu ia meminta diumumkan supaya kaum Muslimin segera berangkat pada waktu yang tidak biasa mereka lakukan.” [2]

Jadi nabi tidak membunuh Ubay bin Salul karena takut apa kata orang.

Kisah terakhir adalah ketika Nabi berjalan bersama istrinya pada malam hari yang gelap.  Hadistnya sebagai berikut: "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah beriktikaf di masjid, lantas aku (shafiyah) mengunjungi beliau pada malam hari lalu berbincang-bincang dengan beliau, lalu aku berdiri. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengantarkanku pulang ke rumah.” 

Rumah Shafiyyah Ketika itu di rumah Usamah bin Yazid. Ketika mengantarkan pulang, lewatlah dua orang Anshar di jalan. Dua orang Anshar itu memandang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (dengan penuh curiga), kemudian mereka bergegas melewati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Tak perlu curiga seperti itu, ini adalah istriku Shafiyyah binti Huyay.” Mereka berdua pun mengatakan, “Subhanallah, wahai Rasulullah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Sesungguhnya setan mengalir dalam diri manusia melalui pembuluh darahnya. Aku benar-benar khawatir ada sesuatu prasangka jelek yang ada dalam diri kalian berdua" [3].

Dari cerita di atas, filter sederhana untuk kapan mendengarkan apa kata orang adalah dengan melihat dampak/akibat yang kita terima dari mendengarkan atau tidak mendengarkan kata orang tersebut. Jika terjadi dampak besar (fitnah, masuk neraka, dll) maka kita perlu mengambil mana yang bisa menghindari dampak buruk tersebut. Misal dalam kasus Abu Thalib dan kisah bapak, anak, dan keledai, sudah seharusnya mereka tidak mendengarkan apa kata orang. Sebaliknya, bila dampaknya besar, kita mungkin perlu mendengar apa kata orang.

Referensi:

[1] https://www.kisahweb.com/2021/03/ini-5-hikmah-dari-cerita-kisah-bapak.html

[2] https://kalam.sindonews.com/read/67896/70/tatkala-umar-marah-dan-berniat-membunuh-dedengkot-munafik-ibnu-ubay-1591963573?showpage=all

[3] https://rumaysho.com/25497-40-kiat-agar-tidak-diganggu-setan-lakukanlah-amalan-amalan-ini.html

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...