Showing posts with label Opini. Show all posts
Showing posts with label Opini. Show all posts

Monday, August 04, 2025

Perbedaan luaran institusi pendidikan dan institusi riset

Empat bulan ini saya menjalani profesi baru, menjadi asisten profesor di sebuah universitas. Sebelumnya saya bekerja di institusi riset. Meski perubahan profesi ini terlihat smooth, ada hal dasar yang membedakan antar keduanya.

Persamaan luaran institusi riset dan pendidikan terletak pada publikasi. Dua-duanya menilai publikasi sebagai luaran. Namun ada perbedaan mendasar antar keduanya, yakni pada sisi authorship. Sebagai periset, menjadi penulis utama adalah tolok ukur keberhasilan periset yang bersangkutan. Hal ini berbeda dengan profesi dosen di institusi pendidikan.

Di institusi pendidikan, tolok ukur utama keberhasilan adalah ketika bisa mendidik mahasiswa untuk menjadi penulis pertama  dalam sebuah publikasi, entah itu conference paper atau pun jurnal. Seperti dalam tulisan saya sebelumnya, menjadi penulis pertama artinya menjadi kontributor utama. Disini lah letak keberhasilan itu, mendidik mahasiswa untuk berkontribusi dalam sains dan riset. Bukan menjadikan dirinya sebagai penulis pertama. 
 

Bagaimana seharusnya menilai kinerja periset dan dosen?


Karena tolok ukur keberhasilan yang diusulkan di atas tadi berdasarkan keberhasilan menjadikan mahasiswa sebagai penulis utama, maka setidaknya ada dua kriteria untuk menilai periset dosen. Kriteria pertama dengan banyaknya (kuantitas), kriteria kedua dengan seberapa baik kualitas paper atau journal yang diterbitkan. Untuk kriteria pertama cukup jelas, misalnya berapa jurnal publikasi per tahun. Untuk kriteria ada beberapa metrik/standard yang bisa dipakai. Cara pertama, yang saya usulkan, adalah dengan memakai metrik Google Scholar, yakni kualitas publikasi dinilai dari masuk tidaknya jurnal atau conference (keduanya dipukul rata) tersebut dalam Google Top 20. Misalnya bidang saya, acoustic and sound, ada pada list berikut. Cara ini cukup efisien dan fair, tidak peduli entah dia jurnal atau conference paper. Cara kedua yakni dengan menggunakan quartile Scopus, yakni publikasi (hanya jurnal) harus masuk antara Q4 sampai Q1. Semakin tinggi nilai Q-nya, semakin tinggi bobot kualitasnya. Namun ada kelemahan dalam cara kedua ini, yakni bagaimana menilai conference paper? Padahal conference paper dewasa ini keterbaruannya lebih tinggi daripada jurnal karena frekuensi penyelenggarannya tahunan.


Masalah selanjutnya adalah dalam penilaian kinerja periset atau dosen. Karena perbedaan authorship luaran diatas, maka penilaiannya harus dibedakan pula. Tidak seharusnya dosen dinilai dari sisi penulis pertama; sebaliknya hal tersebut berlaku pada periset. Dosen hendaknya dinilai dari kualitas dan kuantitas publikasi yang dihasilkan, yang besar kemungkinan berbanding lurus dengan jumlah mahasiswa yang diluluskannya.

Wednesday, September 22, 2021

Lebih baik mengundurkan diri daripada menginstall WA

Seorang teman berseloroh: dia lebih memilih untuk dipecat/mengundurkan diri dari pekerjaannya daripada diminta menginstall whatsapp (WA). Dan dia melakukannya. Dia mengundurkan dari posisi dosen PTN di wilayah barat Indonesia. Saya sependapat dengannya. 

Hidup ini pilihan, dan kadang tidak ada pilihan yang salah (dan selebihnya ada, salah memilih). Menjadi dosen itu pilihan baik, pekerjaan lain juga pilihan baik. Teman saya yang mundur gara-gara WA tadi juga tidak salah karena itu pilihannya. Pihak kampus yang memaksa teman saya menginstall WA tadi juga tidak salah karena itu wewenangnya. 

Ketika sudah bekerja kita harus mematuhi peraturan pekerjaan. Jika tidak bisa maka kita harus mundur, itulah konsekuensinya. Mundur juga bukan perbuatan tercela. Hal ini akan berbeda ketika kita bisa merubah kebijakan atau peraturan itu. 

Wallahua'lam bi showab.

Tulisan terkait:

Monday, September 06, 2021

Mengundurkan Diri Itu Bukan Perbuatan Tercela

Saat saya bekerja di pabrik dulu, suatu kali pernah (ibu) sekretaris perusahaan mengundurkan diri. Ceritanya begini. Saat permintaan barang sedang tinggi-tingginya, Pak Direktur (aka sachou) meminta bu sekretaris ikut bekerja di lapangan (genba a.k.a. pabrik). Besoknya si ibu sekretaris langsung minta mengundurkan diri untuk bulan depannya. Alasannya sederhana: dia melamar kerja untuk pekerjaan administrasi, bukan untuk pekerjaan lapangan (genba).

Mirip dengan cerita di atas. Suatu ketika seorang adik kelas melamar  pekerjaan dosen di suatu perguruan tinggi. Setelah diterima, dia komplain karena diminta oleh kepala jurusan (kajur) untuk mengerjakan pekerjaan administrasi. Tak lama kemudian dia mengundurkan diri. Alasannya sederhana: dia melamar pekerjaan dosen, menjadi pengajar dan peneliti, bukan menjadi staf administrasi.

Dalam dua kasus di atas, hampir tidak ada pihak yang salah. Pak direktur mempekerjakan ibu sekretaris karena kekurangan tenaga kerja di lapangan. Di kasus kedua, Pak Kajur juga kekurangan tenaga administrasi (yang terampil) sehingga mempekerjakan dosen untuk pekerjaan administrasi. Dari kedua kasus, baik bu sekretaris maupun teman dosen sama sekali tidak salah. Juga, mereka sulit menolak pekerjaan yang bukan bidangnya karena statusnya sebagai karyawan pada tempat mereka bekerja. Mundur menjadi pilihan terbaik bagi keduanya.

Mundur juga bisa menjadi alasan yang logis ketika tidak setuju dengan suatu hal, misalnya ketika diharuskan untuk menginstall whatsapp (WA) untuk urusan kerja. Sangat tidak logis dan tidak etis menggunakan WA untuk urusan pekerjaan. Seorang teman pernah berujar, hari dimana dia diminta menginstall WA oleh atasannya, hari itu juga dia akan mengundurkan diri. Penggunaan WA dan sejenisnya di kantor saya sekarang ini dilarang, dan bisa fatal akibatnya bila ketahuan menggunakan aplikasi tsb di kantor.

Mengundurkan diri itu bukan perbuatan tercela. Perbuatan tercela itu seperti korupsi

Monday, August 30, 2021

Kenapa Harus Berlari...

Saat kerja di Jepang, saya sering dipanggil oleh Pak Bos. Saat awal-awal di panggil, saya mendatanginya dengan berjalan. Pak Bos menyuruh saya berlari. Kalau berjalan saya butuh 1 menit, dengan berlari saya hanya butuh 30 detik. Kalau dalam sehari saya dipanggil 30 kali, maka saya bisa hemat 30 x 30 detik, 900 detik alias 15 menit. Dengan asumsi kerja 20 hari per bulan, saya bisa menghemat 15 x 20 menit alias 300 menit alias 5 jam per bulan. Waktu tsb bisa saya gunakan untuk pekerjaan lainnya. Kenapa harus berlari? Ya karena berlari mempercepat pekerjaan dan menunjukkan semangat kita.

Dalam tulisan saya yang lain: What we can do in 10 minutes, orang lain bisa mentransformasikan ide menjadi "produk" dalam 10 menit. Diberikan waktu 300 menit akan menghasilkan 10 ide  --> 10 produk, untuk orang tersebut.

Ayo berlari...!

Thursday, August 19, 2021

Kenapa Harus Meng-CC email ke Diri Sendiri

Salah satu budaya "aneh" orang Jepang yang akhir-akhir ini mulai saya tiru adalah meng-cc email ke diri sendiri.

Saat awal datang ke Jepang, saya merasa aneh saja ada orang mengemail ditujukan (CC, carbon copy) ke diri sendiri. Professor saya melakukannya. Professor-professor lain pun ternyata juga sama. Saat itu professor saya meminta saya meng-CC email ke diri saya setiap kali mengemail beliau, namun saya jarang melakukannya. Sepuluh tahun berlalu, kini kebiasaan itu menjadi wajib bagi saya.

Kenapa harus meng-cc email ke diri sendiri?

Agar kita tahu, apakah email kita sampai atau tidak. Seseorang mungkin akan berargumen, kalau tidak sampai pasti ada notifikasi. Bisa jadi benar, tapi bisa jadi tidak semua email provider memberikan notifikasi jika ada email yang bouncing (tidak terkirim karena alasan teknis, misal alamat tidak tersedia, atau email tujuan penuh, atau alasan yang lain). Kalaupun toh pasti ada notifikasi jika tidak terkirim, tetap kita dapat mengambil manfaat, yakni lamanya waktu pengiriman. Alih-alih mengirim email dua kali (ganda), kita bisa mengecek apakah email yang kita kirim sudah diterima atau belum.

Wednesday, August 11, 2021

Kenapa Harus Email, bukan WA

TL;DR: Kalau saya jadi CE0, dan ada karyawan saya yang menggunakan WA untuk urusan kerja, akan saya pecat saat itu juga... :D

Pada tulisan ini saya berargumen bahwa komunikasi untuk urusan pekerjaan seharusnya (dan umumnya) dilakukan menggunakan email, bukan WA (WhatsApp), messenger, chat dan sejenisnya. Di tempat kerja saya kebetulan tidak ada yang memakai WA; LINE kabarnya juga sudah dilarang sejak beberapa tahun yang lalu. Sebagai tambahan, penggunaan aplikasi zoom juga dilarang karena faktor keamanan.

Sebelum membaca tulisan ini ada baiknya anda membaca tulisan berikut: WA: Pemborosan Waktu..?

Kenapa harus menggunakan Email: 

  1. Terekam, recorded
  2. Salah satu fitur email yang paling powerful adalah "terekam". Apa isi email, kapan terkirim, dari siapa, ke siapa, semua ada. Bahkan email pertama yang saya buat waktu SMP masih bisa saya baca sampai sekarang. WA? Bisa! Tapi saya tidak tahu apa isi WA pertama saya. Anda tentu paham maksud saya, dua-duanya memiliki fitur terekam, tapi bak langit dan bumi.
  3. Searchable, ketercarian
  4. Fitur kedua yang amat saya sukai dari email: ketercarian. Data teks adalah data yang sangat kompleks tapi fleksibel. Kita bisa mencari apa saja yang pernah masuk ke email kita. WA? Bisa juga, selama belum dihapus, belum ganti hape, dan belum ganti nomor.
  5. Per topik
  6. Pentingnya menggunakan email adalah bisa berdiskusi per topik. Ada yang  mengirim email dengan subjek tertentu dan kita balas (Re:XXX). Berapapun panjang dan lama diskusi tersebut tidak masalah. Ini akan menjadi masalah dengan WA dengan layar kecil, ketercarian dan rekaman yang terbatas.
  7. Universal
  8. Email itu universal dan cross-platform, tidak di monopoli oleh perusahaan tertentu. Anda pakai yahoo, saya pakai gmail, tidak menjadi masalah, masih bisa berkirim email. Beda dengan WA, LINE, messenger, dan sejenisnya yang hanya berjalan pada platform yang sama.
  9. Email menempel pada akun, bukan nomor HP
  10. Kelebihan email selanjutnya adalah bahwa dia adalah akun independen, tidak menempel pada nomor HP. Nomor HP bisa digunakan untuk pengamanan ganda. Berbeda dengan WA yang menempel pada nomer HP. Jika ganti nomor kita harus mentransfer akun WA ke nomor baru. Jika tidak, by default, prinsipnya, ganti nomor ganti WA.

Itulah beberapa alasan kenapa harus menggunakan email untuk komunikasi tulisan dalam urusan pekerjaan. Lebih khusus lagi, kita seharusnya menggunakan email kerja (kantor) untuk urusan pekerjaan, bukan email personal atau individu. Tempat kita bekerja menyediakan email kantor untuk urusan pekerjaan (tidak berlaku jika kantor tidak menyediakan). Sampai sekarang pun saya tidak tahu email lain atasan saya selain email kantor (dan Slack!).

Semoga semakin banyak orang yang "hijrah" dan "bertobat" setelah membaca tulisan ini: tidak memakai WA lagi.

Jika tidak setuju dengan argumen saya ini, tulis alasan anda dan beritahu saya (setidaknya URLnya) melalui komen di bawah ini.

Monday, December 07, 2020

Berapa Makalah yang Anda Baca Dalam Sehari? Panduan Singkat Teknik Membaca Makalah Ilmiah

Dalam suatu perjalanan untuk melihat Gunung Eiger, Monch dan Junfrau, seorang teman yang memiliki h-indeks jauh lebih tinggi daripada saya (per hari ini h-indeksnya 12 dengan 767 sitasi) bertanya kepada saya: berapa paper ilmiah yang kamu baca dalam sehari? Saya menjawab, 1-2 paper dalam seminggu. Teman saya menimpali, "Saya, dalam sehari, bisa lima paper". Pantas saja dia mencapai h-indeks dan sitasi sebanyak itu dengan waktu mulai (start) riset yang sama dengan saya. 

Sejak saat itu saya berusaha meningkatkan kemampuan membaca makalah akademik saya. Berikut ini adalah teknik-teknik membaca makalah ilmiah yang, menurut saya, mampu meningkatkan kemampuan (pemahaman) membaca makalah ilmiah akademik.

Skimming

Sebelum lebih jauh mengurai teknik membaca paper, ada dua tipe membaca yang perlu dipahami, scanning dan skimming. Dalam membaca paper, saya selalu menggunakan teknik skimming. Saya hanya membaca apa yang saya cari. Secara singkat teknik skimming ini seperti ini, 

  1. Skimming: cari apa yang anda ingin anda ketahui (pertanyaan di kepala anda, misal: METODE apa yang digunakan? berapa jumlah layernya? Apa input dari sistem yang diusulkan?)
  2. Skip yang tidak dipahami, baca yang dipahami dulu. Baca bagian lain yang bisa membantu pemahaman anda.
Dengan skimming ini, berikut urutan cara membaca makalah ilmiah.

Alternatif urutan membaca paper ilmiah (sumber: IG @bagustris)


Teknik dasar, menurut saya!

Berikut langkah-langkah membaca saintifik menurut pengalaman pribadi saya. Teknik ini saya dapatkan ketika mengikuti workshop tentang "Complex System" di Trieste. Urutan membaca makalah saintifik termudah adalah:

  1. Baca (scanning) ABSTRAK,
  2. Skim Methods,
  3. Lihat GAMBAR dan TABEL,
  4. Skim Results,
  5. Baca (scanning) Conclusions.
Langkah tambahan:
  1. Pahami persamaan matematika yang digunakan (jika ada), jika bisa. Hubungkan persamaan tersebut dengan konteks yang digunakan dalam paper tersebut.
Langkah 1 merupakan yang terpenting, tidak bisa dilewati. Jika ditulis dengan baik, abstrak sudah mencakup isi makalah dari pendahuluan hingga kesimpulan. Langkah ke-2 adalah kunci dari makalah, ide yang ditawarkan. Langkah ke-3 dan ke-4 adalah yang paling sulit untuk dipahami. Langkah ke-5 lebih mudah, dan seharusnya selaras dengan abstrak. 

Pada banyak paper, terutama di bidang sains dan teknik, pasti ada persamaan matematika yang digunakan. Persamaan tersebut untuk memformulasikan permasalahan sekaligus juga solusinya. Inilah pentingnya konsep dan matematika. Tanpa keduanya, kita tidak bisa membaca paper secara menyeluruh. Solusinya harus belajar lagi: teori dasar dan matematika dasar. Bagaimanapun, memahami "ide" dalam sebuah makalah ilmiah tidak memerlukan pemahaman matematika tingkat tinggi. Cukup alur cerita dari makalah tersebut yang bisa diserap untuk memahami apa yang ditawarkan. Pemahaman matematika akan membantu kita memahami makalah secara komprehensif dan memunculkan solusi-solusi lain dari permasalahan yang diangkat pada makalah ilmiah tersebut.

Membaca dengan teknik Feynman

Menurut Feynman, teknik belajar, yang juga bisa diaplikasikan untuk membaca paper, adalah sebagai berikut:

  1. Identifikasi apa subyeknya, tulis apa yang anda ketahui dari paper tsb (kata kunci, definisi, teori, dll).
  2. Jelaskan apa yang anda pahami dari paper tersebut dengan tulisan anda, misal dalam sebuah blog atau tulisan (baik tangan atau cetak).
  3. Cari gap dari makalah dan tulisan anda.
  4. Organisasikan dan sederhanakan tulisan anda. Ceritakan ke orang awam.


Menurut Emka Bluemke

Menurut Emka Bluemke [4], Urutan membaca paper akademik setelah skimming abstrak adalah sebagai berikut:

Sebidang: Conclusions --> Discussion --> Introduction --> Methods

Tidak sebidang: Intro --> Conclusions --> Discussion --> Introduction --> Methods



Membaca paper berdasarkan Quran

Membaca (paper) berdasarkan Quran surat Al-Alaq ayat 1-5 menurut saya adalah seperti berikut:

  1. Bacalah dengan nama TuhanMu yang menciptakan. Teknik membaca paper dari ayat ini adalah: Niat, niat membaca paper untuk mencari ridho Allah.
  2. Menciptakan manusia dari 'alaq. Teknik kedua membaca paper dari ayat ini, menurut saya, adalah: pelajari dasarnya, embrionya (al-'alaq).
  3. Bacalah dan aqungkan nama tuhanMu. Teknik membaca paper dari ayat ini, menurut saya, adalah: meluruskan tujuan kita kembali (reminder) untuk membaca (makalah ilmiah), yakni untuk mengagungkan nama Tuhan. Mereview dan membaca ulang (sebagaimana ayat 1).
  4. Yang menciptakan alam dengan perantara kalam. Teknik membaca paper dari ayat ini, menurut saya, adalah menulis kembali apa yang ada dalam makalah dengan bahasa kita, khususnya dengan pena. 
  5. Yang mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. Teknik membaca paper dari ayat ini, menurut saya, adalah mengajarkan apa yang kita pahami (ke orang lain atau simulasi mengajar ke orang lain) dan mencari tahu apa yang tidak kita pahami dalam makalah ilmiah tersebut.

Demikian beberapa teknik membaca paper yang saya ketahui. Bagaimana dengan anda? Teknik membaca paper tidak hanya terbatas pada teknik-teknik di atas. Setidaknya, cara di atas adalah cara-cara yang terbukti memberikan informasi dan pemahaman dari makalah akademik jika selama ini anda stuck dan tidak mendapatkan apa-apa ketika membaca makalah saintifik ilmiah.


Referensi:

  1. https://www.sciencemag.org/careers/2016/03/how-seriously-read-scientific-paper
  2. https://blogs.lse.ac.uk/impactofsocialsciences/2016/05/09/how-to-read-and-understand-a-scientific-paper-a-guide-for-non-scientists/
  3. https://towardsdatascience.com/how-to-read-scientific-papers-df3afd454179
  4. https://twitter.com/emmabluemke/status/1269615728581361666

Monday, October 12, 2020

Teknik Pendakian Naik: The Rest Step

Pada pendakian gunung Merapi pada tahun 2009, saya berkesempatan mendaki dengan seorang bule asal Spanyol. Ketika itu saya berkenalan dengannya di tengah perjalanan, dan saya lihat dia mendaki sangat cepat. Saya tanya, berapa waktu yang dia butuhkan untuk mendaki Semeru? "Lima jam pulang pergi!", katanya. Saya takjub. Dalam lima jam, saya berangkat dari pos Selo belum mencapai puncak. Dia sudah sampai puncak dalam waktu setengahnya saja. Saya amati langkahnya. Karena kakinya panjang, langkahnya juga panjang. Ditambah dengan stamina dan kecepatannya, tak heran kalau bule bisa mendaki gunung dengan waktu lebih singkat dari kita, umumnya sepertiga sampai setengah dari waktu yang kita butuhkan (dan bisa lebih singkat lagi). Sejak saat itu, saya perpanjang jangkauan langkah saya dengan harapan bisa memperpendek waktu pendakian.
Mendaki naik dengan rest step, langkah pendek, dan sedikit istirahat akan mengurangi tingkat kelelahan (Gambar: puncak oyama [Tateyama])


Pada pendakian Gunung Bessan (yang merupakan bagian dari pegunungan Tateyama), saya berjalan di belakang seorang Ibu. Kebetulan saat itu saya solo avonturir, teman-teman tinggal di tenda, mau onsen katanya. Saya perhatikan langkah ibu tersebut, lambat dan tegak. Hampir-hampir saja saya menyalipnya. Dan ketika hampir menyalip, napas saya terengah-engah. Akhirnya, dengan sabar saya berjalan di belakang ibu tersebut. Di sinilah cobaannya. Saya menahan diri untuk tidak istirahat selama ibu di depan saya tidak istirahat. Ibu di depan saya tersebut membawa peralatan lengkap, tas carrier 60L (liter). Sedang saya hanya membawa tas selempang berisi air minum. Dengan penuh perjuangan akhirnya saya bisa tetap di belakang Ibu tersebut sampai Tsurugigozenkoya, tempat yang memisahkah jalur pendakian ke Gunung Bessan dan Gunung Tsurugi.

Setelah pos Tsurugigozenkoya tersebut, saya menerapkan dua pelajaran yang saya dapatkan dari Ibu di didepan saya tadi: langkah pendek dan sedikit istirahat. Walhasil, perjalanan dari Raichosawa-Bessan-Masagodake-Raichosawa dapat saya tempuh dalam 4 jam (sesuai estimasi aplikasi Yamap). Langkah pendek dan sedikit istirahat, itulah kuncinya. Dengan langkah pendek, pelan, dan menghirup udara panjang, kita sudah sekaligus beristirahat dalam tiap langkah. Sehingga, istirahat yang lebih panjang tidak diperlukan lagi. Saya juga tidak mengalami kecapekan yang luar biasa setelah pendakian Gunung Tateyama, kaki normal tanpa penumpukan asam laktat di paha atau betis. Berbeda sekali dengan pendakian-pendakian sebelumnya (bisa juga karea bantuan "supporter betis/calf supporter" yang saya pakai). Dua teknik ini, langkah pendek dan sedikit istirahat, merupakan kunci untuk melakukan pendakian tepat waktu.

The Rest Step

Teknik yang saya ikut dari seorang Ibu di Tateyama di atas ternyata dinamakan "the rest step". Pada jalan biasa naik kita tidak berhenti; kita jalan terus-menerus tanpa memberi kesempatan kaki untuk beristirahat, kecuali di saat istirahat. Apa dasarnya, karena betis dan paha selalu dalam posisi bengkok; tidak pernah dalam posisi lurus (180 derajat). Rest step adalah kebalikannya, dalam sekali jalan posisi paha dan betis kembali 180 derajat setelah melangkah. Energi ketika paha dan betis pada kondisi lurus digunakan untuk menekan/menapak langkah selanjutnya. Perhatikan dua video berikut, dan ambil pelaran darinya! 


Untuk teknik pendakian turun, silahkan baca disini >> http://bagustris.blogspot.com/2020/10/teknik-pendakian-turun-meghindari-lutut.html.

Monday, October 05, 2020

Kemampuan Menjawab Pertanyaan

Salah satu kemampuan penting yang, menurut saya, belum ada metrik/ukurannya (seperti IQ dan EQ) adalah kemampuan menjawab pertanyaan. Kemampuan ini merupakan salah satu dari tiga dimensi berpikir kritis. Sering kita lihat pertanyaan "ya" dan "tidak" yang cukup hanya dijawab dalam hitungan detik dijawab secara bertele-tele bermenit-menit. Tulisan ini membahas apa saja aspek penting untuk meningkatkan kemampuan menjawab pertanyaan.

Tulisan ini dilatarbelakangi oleh pengalaman saya pribadi. Suatu saat co-supervisor saya menimpali jawaban saya, "Bagus-san, kamu cuma ditanya pertanyaan singkat dan sederhana, tapi kenapa jawabannya panjang dan bertele-tele. Saya melongo. Hah, benar. Ternyata selama ini saya tidak mempunyai kemampuan menjawab pertanyaan dengan baik. Beruntung saya mengambil kuliah "Scientific Discussion" di JAIST. Kuliah tersebut berisi prinsip-prinsip berlogika dalam berdiskusi, mencakup kemampuan menjawab pertanyaan.

Sering kita lihat di televisi, misalnya dalam acara dialog/debat, si penanya menanyakan A dan si penjawab menjawab B. Sering pula pertanyaan yang hanya membutuhkan jawaban "ya" atau "tidak" dijawab dengan bertele-tele.

Prinsip-prinsip dalam menjawab pertanyaan yang saya kemukakan di bawa ini sudah umum: singkat, pada, dan berisi. Urutannya saja yang saya rubah berdasarkan esensinya. Saya tambahkan prinsip keempat yang opsional, yakni memberikan referensi.
  1. Berisi (jawaban)
  2. Jawaban harus memuat dari apa yang ditanyakan. Jika pertanyaannya adalah pertanyaannya ya/tidak, maka harus ada salah satunya, ya atau tidak. Jika tidak ada, maka harus ada penjelasannya. Contoh lain: Apa kontribusi (novelty) penelitian anda? Jawaban: Kontribusi penelitian saya adalah XXX dan YYY.
  3. Singkat (short)
  4. Pertanyaan tidak hanya memuat jawaban, tetapi juga harus memuat alasan kenapa dijawab seperti itu. Justifikasi adalah argumen dan bukti/alasan (evidence). Jawaban adalah argumen, sedangkan bukti/alasannya harus singkat.
  5. Padat (dense)
  6. Jawaban atas pertanyaan harus padat, terutama pada alasannya. Misalnya, saya menjawab A karena B. B harus singkat dan padat. Singkat, seperti pada poin sebelumnya, hanya berisi alasan yang dibutuhkan, bukan alasan-alasan yang tidak dibutuhkan. Alasan-alasan yang tidak dibutuhkan tsb (data pendukung, bukan data utama) akan menyebabkan jawaban tidak padat.
  7. Berdasarkan Referensi atau Alasan
  8. Prinsip terakhir adalah jawaban harus berdasarkan referensi, jika ada. Misalnya, saya menjawab A berdasarkan referensi C. Saya menjawab C karena D. Saya memilih E karena F. Prinsip ini bisa jadi tidak dibutuhkan, misalnya dalam pertanyaan opini atau pendapat. Contohnya, apa warna kesukaan anda? Dalam hal seperti itu, argumen harus kuat, karena bisa jadi ada pertanyaan susulan. Banyak pertanyaan yang sudah ada jawabannya, dan kita tinggal menyitir/mensitasi saja. Jawaban yang berdasarkan referensi akan membuat posisi (jawaban) kita kuat, khususnya jika referensi tersebut bereputasi (misalnya dari jurnal SpringerNature dan Elsevier).
Itulah kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan untuk bisa menjawab pertanyaan secara tepat. Kita bisa menilai jawaban seseorang dari tiga prinsip di atas. Kita pun juga harus belajar kemampuan-kemampuan di atas agar bisa menjawab pertanyaan secara tepat, sebuah dimensi berpikir kritis.

Monday, May 18, 2020

Pentingnya bersih-bersih setiap hari...

Pada suatu ketika, di sela-sela belajar bahasa Jepang (kursus gratis man-to-man diadakan oleh volunteer), guru saya bertanya, "Bagus-san, kamu bersih-bersih tiap berapa hari sekali?" Saya menjawabnya, "Seminggu sekali, sensei." Sensei saya menimpali "Are, Takebi-sensei, mainichi souji shimasu". Itu si Takebi-sensei bersih-bersih rumahnya tiap hari. Takebi-sensei yang berada di belakang saya mengangguk dan menimpali, "hai, mainichi souji shimasu." Orang jepang suka yang bersih dan suka bersih-bersih. Bahkan saya curiga, pekerjaan mereka cuma bersih-bersih.

Mari berhenti sejenak dari membaca tulisan ini dan melihat dua video pendek berikut yang dibuat oleh vlogger amatir Jepang.



Monday, April 06, 2020

Berpindah ke vscode (dari gEdit)

Hidup itu harus dinamis, tidak harus saklek pada satu hal (tool/perangkat). Ketika ada perangkat lain yang lebih mudah, meskipun awalnya saya membencinya, maka kita harus berpindah ketika ternyata perangkat tersebut memberikan kemudahan dan kecepatan dari perangkat lama.

Kali ini saya berbicara tentang "editor", perangkat lunak yang digunakan untuk mengetik. Contoh editor sederhana adalah notepad di Windows. Di Linux, sejak pertama kali menggunakannya secara intensif tahun 2009 sampai sekarang, editor bawaan dari Gnome, yakni gEdit, adalah editor default saya, selain vim. Dua hal utama yang saya gunakan dengan editor: (1) mengkoding Python, dan (2) membuat manuskrip dengan Latex. Hal-hal lainnya adalah menulis dengan markdown, txt, dan format-format lainnya. Jadi, editor yang saya gunakan paling tidak harus mendukung Python dan Latex, dan gEdit sudah mendukung keduanya dengan beberapa kekurangan (code completion, snippets, dll).

Setelah mencoba beberapa editor lain: Atom, Sublime text, Spyder, PyCharm, dan vscode, akhirnya saya memutuskan vscode sebagai editor saya untuk seterusnya. Tulisan ini mengupas kenapa saya berpindah dari gEdit ke vscode.


Saturday, March 28, 2020

New article every weekend?

Time is short, writing is hard, and papers are long.
-Write it Up, p. 3

Writing is hard, everyone agrees on this statement. But, what about statement "Everyone can write"? Most people will disagree with that statement. Yes, while all students in higher education (undergraduate and above) must submit their thesis to obtain their degree, not all of them being a writer after it. Writing is important in all aspects of life. It is a basic skill to survive in the modern era. Without it, someone will suffer to explain their idea, their thinking. Yes, writing is thinking (another thinking is speaking), As quoted by a page in a book below, writing is a way to communicate our thinking to others. The better we communicate our idea, our thinking, the easier it will be accepted by people.

Writing is thinking, from a book: The craft of research

Why Writing?

Wednesday, November 13, 2019

"Logika dan Percakapan"-nya Grice beserta Kritiknya

Herbert Paul Grice (13 March 1913 – 28 August 1988) merupakan filsuf bahasa Inggris yang banyak bekerja di bidang implikatur dan semantik. Tulisan ini membahas tulisannya tentang logika dan percakapan (logics and conversation), prinsip didalamnya, beserta kritik terhadap tulisan tersebut.

Logika dan Percakapan

"Berkata" berhubungan erat dengan apa yang diucapkan, tidak termasuk hal-hal lain yang ingin diutarakan pembicara diluar apa yang diucapkan (kecuali hanya apa yang dikatakannya). Berkata adalah ungkapan semantik (makna dari kata). Sederhananya, anda tidak bisa ngomong A tapi yang anda maksudkan B (misalnya seperti ini, "maksudku begini lho...."). Tidak bisa.

Hal ini berbeda dengan membayangkan, menyarankan, menyampaikan, mengindikasikan, dll. Hal-hal tersebut di luar apa yang dikatakan. Berimplikasi (implicating) adalah ungkapan pragmatik (kesesuaian antara apa yang dikatakan dengan apa yang dimaksudkan).

Grice mengusulkan teori implikatur, salah satu aspek kajian pragmatik yang perhatian utamanya adalah mempelajari ‘maksud suatu ucapan’ sesuai dengan konteksnya. Implikatur cakapan dipakai untuk menerangkan makna implisit dibalik “apa yang diucapkan atau dituliskan” sebagai “sesuatu yang diimplikasikan” (implicatum: what is implied)  [3].

Implikatur: Konvensi vs Cakapan

Implikatur, berdasarkan ragamnya, oleh Grice dibagi menjadi dua: implikatur konvensi dan implikatur cakapan. Perhatikan kalimat dalam bahasa Inggris berikut.

“He’s an Englishman, so he’s brave.”

Pada kalimat di atas, kata 'brave' merupakan implikasi dari 'Englishman', tanpa disebutkan secara langsung. Bandingkan dengan contoh.

“She is poor, but she is honest.”

Kata 'honest', pada kalimat diatas merupakan implikasi kebalikan dari kata 'poor'. Namun disini perlu kata 'but', untuk menerangkan pertentangan 'poor' dengan 'honest' untuk membawakan implicatum. Ini adalah contoh implikatur cakapan (conversational implicature) yang mana merupakan bagian dari semantik.

Prinsip Kooperatif (kerja sama)

Monday, November 11, 2019

Menjadi Logis [4]: Sumber pemikiran tidak logis

Ini adalah kelanjutan tulisan sebelumnya, sebuah ringkasan dari buku "Being Logical", Bab ke-4: the source of illogical thinking.

Kesalahan dalam penalaran bisa karena ketidaksengajaan (kecelakaan), atau akibat dari ketidakhatian. Beberapa perilaku dan pandangan berikut perlu dihindari karena bisa mengakibatkan pemikiran yang tidak logis.

1. Skeptis
Sikap skeptis (meragukan) perlu, namun selalu skeptis akan menuntun pada kekeliruan. Contoh skeptis yang diperlukan: Jika datanya meragukan, kita boleh meragukan kesimpulannya. Namun jika kita selalu meragukan argumen orang lain (misal yang tidak kita sukai), akan menjadikan hal tersebut non-logis.

2. Agnostik evasif
Agnostik tidak hanya dalam beragama, tetapi juga dalam berpikir. Orang yang atheis secara tegas tidak mengakui adanya tuhan. Orang agnostik "tidak tahu", apakah tuhan itu ada atau tidak (Setelah mereka meninggal mereka baru tahu, namun itu (menurut saya) sudah telat). Pemikiran yang agnostik mengelak adanya tuhan, namun juga menampik ketidakadaan tuhan, mereka hanya "mengabaikan" sebagai sesuatu yang benar. Bentuk pengabaian ini merupakan akibat kemalasan (untuk mencari tahu).

3. Sinis dan optimis naif
Sikap sinis adalah memberikan penilaian negatif tanpa bukti yang cukup. Sikap naif optimis sebaliknya memberikan penilaian positif tanpa bukti yang cukup. Keduanya tidak logis dan bentuk dari prasangka (prejudice). Prasangka tidak logis karena memberikan kesimpulan sebelum fakta/bukti/premisnya kuat.

Thursday, October 31, 2019

Menjadi Logis [3]: Argumen: Bahasa Logika [2]

Tulisan ini adalah kelanjutan tulisan sebelumnya: Menjadi Logis [3]: Argumen: Bahasa Logika [1]. Karena isi dari Bab 3 buku "Being Logical" cukup panjang, saya pecah ringkasannya menjadi dua artikel, agar mudah dibaca dan dipahami.

Saya mulai penomoran itemnya dari 11, melanjutkan tulisan sebelumnya 1-10.

11. Kebenaran Premis
Dalam argumen silogisme ada kesesuaian antara konten dan struktur. Konten akan benar jika premisnya benar. Jika premisnya salah, maka secara konsisten kesimpulannya menjadi salah. Contohnya adalah berikut.

Setiap anjing memiliki tiga kepala.
Corolla adalah anjing.
Corolla memiliki tiga kepala.

Meski secara struktur benar, namun karena premisnya salah, kesimpulannya menjadi salah. Dapat dikatakan, jika inputnya sampah, maka outputnya juga sampah (garbage in, garbage out).

12. Relevansi Premis
Meski premis harus benar, namun itu saja tidak cukup. Kebenaran premis harus relevan dan menjangkau kesimpulan. Contohnya adalah berikut.

Pak XXX merupakan purnawirawan jenderal TNI AD.
Beliau sekarang seorang wirausahawan yang sukses.
Karenanya, beliau seharusnya terpilih menjadi presiden.

Pada pernyataan diatas, premisnya benar (kalimat satu dan dua), namun kurang relevan dengan kesimpulan yang diambil (kalimat 3). Bandingkan dengan argumen berikut.

Pak YYY adalah wirausahawan sukses.
Beliau terpilih menjadi walikota ZZZ dan gubernur AAA selama dua periode.
Melihat kecakapannya memimpin kota dan provinsi, maka beliau layak menjadi presiden.

Argumen kedua ini lebih logis karena ada relevansi antara premis dan kesimpulan.

13. Pernyataan Fakta, Pernyataan Nilai
Pernyataan bisa berupa fakta atau berupa nilai. Contohnya berikut,

Musisi adalah mereka yang piawai memainkan alat musik.
Bagus adalah musisi.
Kesimpulan: Bagus piawai memainkan alat musik.

Bandingkan dengan pernyataan berupa nilai berikut.

Musisi adalah manusia yang sangat unggul.
Bagus adalah musisi.
Kesimpulan: Bagus adalah manusia yang sangat unggul.

Kata unggul sebagai nilai pada argumen di atas samar (vague). Premis dengan pernyataan nilai tidak bisa digunakan secara presisi seperti pernyataan nilai. Untuk mengetes validitas pernyataan nilai, premis tersebut diuji dengan fakta lainnya yang ada, bila cocok maka bisa diterima.

Tuesday, October 29, 2019

Menjadi Logis [3]: Argumen: Bahasa Logika [1]

Tulisan berikut merupakan review Bab ke-3 buku "Being Logical". Review dari bab sebelumnya ada di sini dan di sini. Bab 3 berisi tentang argumen: bahasa logika. Ekspresi konkrit dari penalaran logika adalah argumen. Untuk membuat argumen yang kuat dan efektif, beberapa hal-hal berikut perlu diperhatikan.

1. Membangun Argumen
Perpindahan ke satu ide dari ide yang lain yang telah diketahui kebenarannya, dan menjadikan ide kedua menjadi benar, merupakan inti argumen. Argumen terdiri atas pernyataan-pernyataan, dan pernyataan-pernyataan itulah yang menyampaikan ide dimana perpindahan inferensial (bersifat dapat disimpulkan) terkonsentrasi.

Argumen tersusun atas dua: pernyataan premis dan pernyataan simpulan. Premis adalah pernyataan pendukung. Pernyataan ini merupakan awal argumen dimana kebenaran pernyataan tersebut sudah diketahui. Simpulan adalah pernyataan yang didukung. Premis bisa bermacam-macam, namun simpulan yang baik seharusnya hanya berisi satu hal. Contoh argumen sederhana yang terdiri atas satu pernyataan premis dan satu simpulan.
Karena tidak cocok dengan kepala kantor cabang di Surabaya, Pak Budi dipindahkan ke kantor cabang di Bandung.
Kalimat pertama merupakan premis; alasan, yang dianggap benar. Kalimat kedua adalah simpulan yang menjadi benar karena premisnya benar. Premis adalah dasar dari argumen, dan cakupannya harus bisa mampu menjangkau apa yang disimpulkan.

2. Perpindahan dari universal ke partikular
Perpindahan dari pernyataan universal bisa dilakukan ke pernyataan partikular. Perhatikan contoh berikut.
(i) Semua anjing adalah karnivora. (ii) Beberapa anjing adalah karnivora. 
Karena pernyataan universal (i) adalah benar, maka pernyataan partikular (ii) juga benar. Logika dari prinsip ini cukup sederhana, jika semua anggota dari satu kelas adalah benar, maka sebagiannya juga benar.

3. Perpindahan dari partikular ke universal
Berbeda dengan kaidah sebelumnya, kita tidak bisa secara asa menggeneralisasi dari pernyataan partikular ke pernyataan universal. Perhatikan contoh berikut.
(i) Beberapa wanita adalah ibu. (ii) Semua wanita adalah ibu. 
Pernyataan partikular (i) tentu saja benar, namun tidak dengan pernyataan universal (ii). Untuk berpindah dari pernyataan partikular ke universal dibutuhkan premis yang kuat dan runtut. Perhatikan contoh berikut.
Setiap orang China yang saya temui di sana bermata sipit. Penduduk Lanzhou 99% bermata sipit berdasarkan data sensus tahun 2010. Di beberapa propinsi lain, persentase penduduk bermata sipit juga mendekati 100%. Bisa disimpulkan, sebelum terjadinya perkawinan antar ras, semua penduduk China bermata sipit.

Sunday, October 27, 2019

Menjadi logis [2]: Prinsip Dasar Logika

Tulisan ini adalah kelanjutan tulisan sebelumnya, Menjadi Logis [1]: Menyiapkan Akal untuk Logika. Tulisan ini merupakan bagian terpenting dari catatan seri kuliah "scientific discussion" [1] di JAIST. Tulisan ini saya buat sesederhana mungkin agar bisa dibaca oleh semua orang. Tidak ada kata-kata yang seharusnya tidak ada. Sebaliknya, semua yang harus ada harus tertulis di sini. Semua yang bisa membaca seharusnya mampu memahami tulisan ini.

Setelah kita membiasakan hal-hal untuk menerima logika, langkah selanjutnya adalah mengasimilasikan prinsip-prinsip dasar logika agar menjadi kebiasaan kita. Berikut prinsip-prinsip dasar logika tersebut.

1. Prinsip-prinsip utama
Sains adalah kumpulan pengetahuan terstruktur yang dibangun dari prinsip-prinsip utama. Logika, sebagai sains, juga demikian, dibangun atas prinsip-prinsip utama. Ada empat prinsip utama logika sebagai berikut:
  1. Prinsip identitas: sesuatu adalah apa adanya.
  2. Prinsip pengecualian nilai tengah: antara ada dan tidak ada tidak ada nilai tengah.
  3. Prinsip alasan yang cukup: ada alasan yang cukup untuk semua hal (Ya! semua).
  4. Prinsip kontradiksi: tidak mungkin sesuatu menjadi dan tidak menjadi pada satu waktu.
Tiga dari prinsip di atas diusulkan oleh Aristoteles, sedangkan satu dari Leibiniz, yakni prinsip cukup alasan (logikanya: tiga prinsip yang lain, selain yang diusulkan oleh Leibniz, adalah usulan Aristoteles). 

Prinsip identitas (principum identitatis) adalah prinsip yang paling utama diantara yang utama. Secara sederhana, A adalah A, bukan B. Kucing adalah kucing bukan anjing. Segitiga adalah segitiga, bukan segi empat. Semua yang logis harus beridentitas [2]. Sebaliknya, sesuatu yang identitasnya dipertanyakan juga dipertanyakan kelogisannya.

Prinsip kedua mengatakan bahwa tidak mungkin ada kondisi tengah diantara ada dan tidak ada. Sebagai contoh: di dalam kotak ada kucing atau tidak ada kucing, tapi tidak diantaranya (yakni setengah ada dan setengah tidak ada).  B adalah kucing, bukan anjing, tidak mungkin setengah kucing dan anjing.

Prinsip ketiga merupakan prinsip penting dalam logika dan diskusi saintifik, termasuk/khususnya penulisan ilmiah. Harus ada alasan untuk semuanya. Prinsip ini mirip hukum sebab-akibat. Ketika anda mengusulkan metode A, harus ada alasan mengapa A. Ketika anda mengusulkan variabel X, harus ada alasan mengapa variabel X, bukan Y. Kenapa menggunakan contoh kucing dalam kotak, karena contoh tersebut sangat sederhana sehingga mudah dimengerti semua orang. Itu juga alasan untuk contoh sebelum dan sesudah prinsip ini.

Prinsip terakhir -- kontradiksi -- mirip dengan prinsip kedua. Bedanya, kalau dalam prinsip kedua tidak ada nilai tengah, maka dalam kontradiksi tidak mungkin ada dua keadaan dalam satu waktu. Tidak mungkin ada kucing dalam kotak A dan tidak ada kucing dalam kotak A. Tidak mungkin B adalah kucing dan anjing. Contoh pertama dikembangkan oleh Erwin Schrodinger dalam eksperimen pemikirannya: kucing dalam kotak. Menurutnya, tidak mungkin kucing dalam keadaan hidup dan mati bersamaan. Meski probabilitasnya 50:50, tapi tidak bisa dikatakan bahwa kucing hidup dan mati dalam keadaan bersamaan. Harus dibedakan antara probabilitas dan realita. Probabilitas tidak mengubah realita. Realita ada dengan atau tanpa observasi. Inilah logika.

2. Daerah abu-abu, daerah yang dibuat abu-abu
Daerah abu-abu adalah daerah dimana kebenaran tidak secara jelas dapat dinyatakan. Dalam hidup, banyak daerah abu-abu, namun jangan terlalu banyak menggunakannya. Abu-abu, sebagai warna, ada karena perbedaannya sebagai alternatif warna putih dan hitam. Jika dalam hidup kita berada pada situasi dimana tidak ada alternatif yang jelas, secara objektif, bukan berarti tidak ada alternatif yang jelas. Tidak adanya alternatif bukan karena tidak ada, namun karena kita tidak bisa melihatnya. Daerah yang dibuat abu-abu ada karena kita tidak bisa melihat daerah abu-abu, (sebenarnya) disebabkan ketidakpastian kita atau kurangnya pengalaman.

Sebagai contoh, anda berada  pada suatu masalah, menentukan benar atau salah. Anda tidak memiliki pengalaman kalau masalah tersebut benar, namun anda punya pengalaman kalau masalah itu salah. Prinsipnya: negatif hanya dapat dikenali sebagai negatif, "secara tidak pasti", karena positif telah diketahui. Disini ada kemungkinan kepastian. Jika pasti itu mungkin, maka kepastian itu mungkin terjadi, meski tidak pasti. Itulah yang harus dipilih.

Menjadi logis [1]: Menyiapkan akal untuk logika

Ini adalah resume buku "Being Logical: A guide to good thinking", sekaligus referensi utama kuliah "E413: Scietific Discussion 2" di JAIST. Tulisan ini adalah resume Bab 1 buku tersebut. Judul babnya adalah: Preparing for the Mind.

Ada tiga materi utama kuliah ini:
1. Logika dan penalaran
2. Argumentasi
3. Diskusi ilmiah (lisan dan tulisan)

Untuk menjadi logis kita perlu menyiapkan sikap, pandangan dan prosedur praktis agar logika bisa masuk, diterima maupun keluar dari akal kita. Hal-hal tersebut, dibahas dalam Bab 1 buku "Being Logical", adalah sebagai berikut.

1. Memberi atensi
Menjadi atensif adalah hal mutlak diperlukan untuk menerima logika. Banyak kesalahpahaman karena kita tidak menaruh perhatian terhadap apa yang kita dengarkan. Mendengar (hear) saja tidak cukup, harus mendengar secara seksama (listen). Fokus kita bisa dilatih. Dengan melatih fokus kita pada hal-hal kecil, kita akan terhindar dari permasalahan besar.

2. Mendapatkan fakta secara langsung
Fakta bisa didapatkan secara langsung untuk objek riil (benda, tempat, dll), dan tidak langsung untuk suatu kejadian. Contoh: anda mendengar bahwa ada diskon di Matahari. Anda datang ke Matahari dan ternyata memang ada diskon. Bagaimana jika kita tidak bisa mendatanginya langsung. Contoh: Presiden Jokowi menang pemilu 2019. Dengan mendatangi website KPU, kita bisa mengkonfirmasi bahwa fakta itu benar adanya. Jika kita tidak bisa membuktikannya langsung (dengan mendatangi), maka kita perlu mengeceknya secara tidak langsung, dengan perangkat lain, misalnya website pada contoh di atas.

3. Ide dan objek dari ide
Ide dan objek dari ide berbeda. Suatu ide harus dapat direpresentasikan menjadi objek. Contoh kita punya ide mempercepat suatu proses komputasi dengan mem-by pass prosesnya. Ide tersebut direpresentasikan dalam bahasa pemrograman (objek dari ide). Cara terbaik untuk mengklarifikasi ide (apakah berjalan atau tidak) adalah dengan melihat objeknya, berhasil atau tidak.

4. Memperhatikan asal ide
Kita pada dasarnya yakin bahwa ide dari akal kita. Murni dari akal kita? Tidak. Lingkungan berpengaruh. Ide kita muncul karena lingkungan, tempat, waktu dan latar belakang lainnya. Jika gagal menghubungkan ide kita dengan asalnya (ide) secara sistematis, maka ide tersebut menjadi unreliable, tidak terpercaya.

Sunday, September 22, 2019

Banyak Tahu itu Tidak Baik

Pada suatu jamuan makan malam (sekitar akhir 2017) setelah konferensi, saya bercakap-cakap dengan orang Jepang. Beliau bertanya tentang riset saya, dan saya menceritakannya. Saya balik bertanya, untuk bidang "ini", dimana yang terbaik di Jepangnya ya? Sambil menyebutkan nama-nama sensei (professor) yang saya ketahui di bidang tersebut. Dia menjawabnya, sambil menimpali: "Kamu banyak tahu ya...".

Di situlah tersadar, banyak tahu itu tidak baik. Orang Jepang, hanya mengurusi yang menjadi urusannya. Mereka hanya mengetahui apa yang digelutinya. Saya perhatikan teman-teman saya orang Jepang, tidak ada satupun yang mentweet tentang politik, pun urusan lainnya. Bisa jadi, nama menteri nya sendiri pun mereka tidak hafal. Bahkan saya pernah bercakap dengan orang Jepang yang nama kaisarnya sendiripun dia tidak ingat.

Kemudian saya mencari (googling) dengan kata kunci: "Know everything is bad", dan menemukan artikel cukup bagus di link ini:
http://davidsearson.com/2015/11/14/why-knowing-everything-is-a-bad-idea/

Di situ dijelaskan juga, banyak tahu itu merupakan ide yang buruk. Kenapa ide yang buruk? Karena tidak ada artinya, tidak ada maknanya (untuk masa depan). Contoh kasus saya diatas, kalaupun saya tahu nama-nama professor di bidang saya tersebut, apa untungnya buat saya? Untuk mencari tempat postdoc? untuk mencari kerjaan/lowongan? Kalau dicari-cari, pembenaran selalu ada. Dalam link artikel bahasa inggris tersebut, sebenarnya bukan pengetahuan yang lebih penting, tapi hikmah (untuk merencanakan masa depan). Jadi urutannya adalah,

Dari diagram alir diatas, yang kita butuhkan adalah tapis, atau filter. Kita menapis banyak (big) data menjadi pengetahuan, dan menggunakannya untuk merencanakan masa depan menjadi hikmah. Jadi kalau ada kebingungan ketika mengambil sebuah keputusan karena banyaknya pilihan atau informasi, sesungguhnya bukan kebanyakan informasi yang salah, tapi kegagalan filter kita untuk menyaring informasi tersebut.

Bukan karena kebanyakan informasi, tapi karena kegagalan filter.


Implementasi

Lalu bagaimana mengimplementasikan "filter" untuk menapis banyaknya informasi/pengetahuan disekitar kita?
Tombol "unfollow", "unsubscribe", "I don't like this (ads)", adalah beberapa yang saya sukai. Bayangkan kalau kita follow/subscribe 1000 akun (youtube, twitter, fb, dll), dan setiap akun memposting 1 tweet/video/status dalam setiap hari, maka dalam sehari kita menerima 1000 posting, diluar iklan. Jika satu jam dari tiap akun tersebut memposting/share video/status/twitter baru, maka kita akan menerima informasi sejumlah:

24000

Setiap jamnya, diluar iklan.

Aturan saya dalam memfollow/subscribe akun cukup sederhana: "Follow/Subscribe" yang bermanfaat, lainnya: abaikan. Sekalipun itu akun orang terkenal, orang berpengaruh ataupun pejabat. Masa depan, kita tentukan sendiri, dari informasi yang kita dapatkan, dan kita filter.

Banyak mencari tahu juga tidak baik

Internet memudahkan kita untuk mencari tahu. Cukup duduk manis di depan laptop, mengetikkan kata kunci dari apa yang ingin kita ketahui dan whoala! apa yang kita cari tahu kita dapatkan. Ini tidak baik. Pencarian terhadap satu kata kunci akan memicu pencarian-pencarian kata kunci lainnya. Begini logikanya. Dari hasil pencarian satu kata kunci, anda mendapatkan informasi tentang kata kunci A dalam suatu halam internet (web page). Di laman tersebut anda kemudian menemukan istilah lain. Bisa juga anda penasaran apa agama si A, siapa istri si A, siapa mantan si A, dimana A dilahirkan, dst. Memiliki pengetahuan atas pencarian tersebut menyenangkan, sebagaimana makan camilan atau memiliki uang. Begitu kata hasil penelitian [1]. Bahkan, kesenangan mendapatkan atas jawaban dari apa yang kita cari tersebut bisa disetarakan dengan uang [1]. Inilah tantangannya: meredam kesenangan kita mencari tahu dari sesuatu yang tak penting.

Terakhir, less is more, dan diam itu emas (tapi sedikit orang yang bisa melakukannya). Sedikit tahu akan menjadikan kita ahli dan pro di bidang kita masing-masing.

Referensi
[1] Kobayashi, Kenji, and Ming Hsu. "Common neural code for reward and information value." Proceedings of the National Academy of Sciences 116, no. 26 (2019): 13061-13066.

Wednesday, January 10, 2018

Berpikir terbalik

Kadang saya suka berandai-andai: bagaimana kalau sebaliknya...?

Saat ramai-ramai izin taksi online atau ojek online dipermasalahkan, saat itu saya punya pikiran: bagaimana kalau sebaliknya...? bagaimana kalau taksi dan ojek konvensional yang dilarang saja: semua harus online. Setidaknya ada manfaat: keterbukaan dan kemudahan, meski hanya untuk sebagian orang (di masa depan tentu manfaatnya lebih banyak).

Saat perayaan tahun baru dilarang: bagaimana kalau sebaliknya...? bagaimana kalau malah harus merayakan dengan hal yang negatif...? OK, begini urutannya:
Tidak boleh merayakan sama sekali --> boleh merayakan dengan hal yang positif --> boleh merayakan dengan hal yang positif/negatif --> harus merayakan dengan hal yang negatif.
Bagaimana jika seperti itu...?

Terkait "publikasi harus terindeks Scopus". Bagaimana kalau dibalik: Tidak boleh publikasi yang terindeks scopus. Atau kalau mau lebih extrim lagi: jika (sengaja) publikasi (hanya) terindeks Scopus --> pecat!

Bagaimana jika sepert itu...?

Anda tidak bisa melarang orang yang memakai cadar atau memakai jilbab. Sebaliknya anda juga tidak bisa melarang seseorang berpakaian seminimal mungkin atau (hampir) telanjang. Peraturanlah yang mengaturnya. Dan agama saya kaya akan peraturan seperti itu.

Dunia diciptakan berpasangan, ada hitam ada putih, ada gelap ada terang.

Ini pikiran ekstrim, setidaknya ada perimbangan dari satu kubu bahwa tidak ada kebenaran mutlak selama kita di dunia ini. Selama agama tidak melarang, tidak masalah. Peraturan buatan manusia banyak salahnya dan bisa diubah.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...