Istilah kiai berasal dari bahasa Jawa (Sansekerta), bukan berasal dari bahasa Arab. Kata “kiai” mempunyai makna yang agung, keramat, dan dituakan. Secara umum dan pengertian paling luas, kiai diartikan pemimpin pesantren, muslim yang membaktikan hidupnya untuk menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran agama Islam. Selain pengertian tersebut, pengertian kiai juga dipakai untuk benda pusaka (keris, gamelan), hewan (kerbau, kuda), makhluk halus dan orang yang meninggal. Namun dalam tulisan ini, istilah kiai hanya digunakan dan diusulkan sebagai pemuka agama Islam saja, khususnya hubungan kiai dan putranya, yang di daerah Jawa Timur disebut sebagai “Gus”.
Kiai adalah cikal bakal pesantren. Karena ilmunya, santri pencari ilmu datang ke kiai untuk menimba ilmu. Untuk mengembangkan aktivitas keagamaannya, kiai mendirikan surau atau masjid di dekat rumahnya yang juga dijadikan tempat mengajar santrinya. Seiring waktu, semakin banyak santri yang datang pada kiai dan dibangunlah pesantren untuk mewadahi aktivitas kiai-santri dalam proses belajar-mengajar agama Islam.
Kiai dan Peranannya
Sebagai pemimpin pesantren dan imam masjid, kedudukan kiai menjadi sentral masyarakat. Banyak pesantren yang mengalami kemerosotan dan masjid mengalami degenerasi setelah ditinggal kiainya (wafat). M. Habib Chirzin [2] mengatakan bahwa peran kiai sangat besar sekali dalam bidang penanganan iman, bimbingan amaliyah, penyebaran dan pewarisan ilmu, pembinaan akhlak, pendidikan beramal, dan memimpin serta menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh santri dan masyarakat. Dan dalam hal pemikiran kiai lebih banyak berupa terbentuknya pola berpikir, sikap, jiwa, serta orientasi tertentu untuk memimpin sesuai dengan latar belakang kepribadian kiai. kiai merupakan pengajar utama di pesantren, dimana kitab-kitab yang diajarkan dan dikaji di pesantren tersebut umumnya adalah kitab yang dikuasai dengan baik oleh kiainya. Pengajian tersebut biasanya dengan menggunakan sistem sorogan, wetonan, dan bandongan. Adapun kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren menurut Zamakhsyari Dhofir [2] dapat digolongkan ke dalam 8 kelompok, yaitu: (1) Nahwu (syntax) dan Sharaf (morfologi), (2) Fiqih (hukum), (3) Ushul Fiqh (yurispundensi), (4) Hadits, (5) Tafsir, (6) Tauhid (theologi), (7) Tasawuf dan Etika, (8) Cabang-cabang lain seperti Tarikh (sejarah) dan Balaghah.
Karena vitalnya peran kiai tersebut, maka regenerasi kiai sangat penting. Suksesi kiai biasanya dilanjutkan oleh putranya yang biasa disebut gus. Ibarat tanaman, mangga yang manis, bijinya jika ditaman pasti akan menghasilkan mangga yang manis pula, ini jika lingkungannya dijaga dengan baik. Begitu pula putra kiai, jika dipersiapkan dengan baik, tentu pada masanya bisa menggantikan peran ayahnya sebagai pimpinan pesantren, pimpinan masjid dan masyarakat. Sistem regenerasi semacam ini mirip dengan perusahaan-perusahaan di Jepang dimana pimpinan perusahaan adalah putra pimpinan perusahaan sebelumnya. Pimpinan perusahaan saat ini tersebut juga akan mengorbitkan putranya sebagai penggantinya kelak selama dia melihat putranya memiliki kecakapan untuk memimpin perusahaannya. Jika tidak dia akan menunjuk orang lain sebagai penggantinya.
Seorang kiai layak untuk dihormati namun bukan untuk dikultuskan, begitu juga putranya. Namun sayangnya, banyak putra kiai yang memanfaatkan penghormatan orang tuanya, padahal yang menjadi orang tua nya bukan dia, dan tidak juga belum tentu menjadi kiai. Menghormati putra kiai boleh dan sangat baik untuk menghormati orang tuanya. Namun apa yang terjadi bila terjadi pengkultusan? Pengkultusan akan menyebabkan kesombongan. Putra kiai, yang umum dipanggil “Gus” akan menjadi congkak. Sifat ini tentu tidak akan menjadikan “gus” sebagai kiai yang dapat dijadikan panutan di kemudian hari.
Hampir semua kiai mengharapkan putranya menjadi penggantinya kelak. Nabi Dawud mempersiapkan putranya hingga menjadi nabi dan raja. Namun bagaimana dengan Nabi Nuh..? Sebegitu kuatnya dia berharap agar anaknya ikut bersamanya, namun akhirnya salah seorang putranya, Kan'an, tidak mau mengikuti ajarannya, bahkan tewas tenggelam. Film "Sang Kiai" adalah salah satu cerita sukses kiai Nusantara. KH Hasyim Asya'ari mampu mengkader putra-putranya menjadi penerusnya, sekaligus menjadi motor penggerak pergerakan nasional pada era kemerdekaan dan pasca kemerdekaan.
Pergeseran Makna Gus
Panggilan gus, dari berbagai literatur, dapat dirunut dari dua muasal. Pertama panggilan gus merupakan singkatan dari “bocah bagus”, panggilan sayang orang tuanya agar anaknya menjadi orang yang baik, yang mungkin saja saat itu mbelingnya gak ketulungan. Banyak cerita putra kiai yang nakalnya minta ampun, suka minum dan anarkhis, tapi suatu ketika dia tobat dan menjadi kiai melanjutkan perjuangan ayahandanya. Panggilan “gus” juga mungkin berasal dari bahasa arab yaitu Al Ghauts, nama bagi pemimpin para wali - sebagaimana dipaparkan oleh Ibnu ‘Araby dalam Futuhat al Makkiyah -dan kemudian menjadi istilah tersendiri dalam masyarakat Jawa pada khususnya dan Indonesia pada umumnya [1]. Akhir-akhir ini istilah “Gus” yang biasanya digunakan untuk menyebut putra kiai tereduksi, sampai-sampai ada orang yang hanya punya kemampuan pas-pasan dalam bidang perdukunan atau menyadarkan orang yang pingsan (baca: kesurupan) dipanggil dengan nama gus, anak kiai langgar cilik juga dipanggil dengan Gus LC, anak guru ngaji alif, ba, ta yang kebetulan lama belajar di pesantren juga dipanggil dengan sebutan gus. Juga pada penamaan-penamaan lain yang menyimpang dari wadh’inya. Walhasil istilah “Gus” telah mengalami penurunan makna dari yang dulunya disematkan untuk penghormatan sekarang telah beralih fungsi menjadi bahan olok-olokan atau sebagai untuk profesi tertentu [1]. Menyempitnya makna gus tersebut menjadikan kita miris, bukan penghormatan yang didapat namun malah olok-olokan.
Melalui tulisan ini penulis mengusulkan untuk hanya menggunakan kata gus untuk yang benar-benar gus, putra kiai yang meneladani dan melanjutkan perjuangan ayahnya. Begitu juga dengan istilah kiai sebagai warisan nusantara. Panggilan kiai hendaknya hanya kita gunakan untuk ulama pemimpin pesantren, bukan pada keris, kerbau, kuda, kereta dan benda-benda lainnya. Panggilan Kiai sebagai warisan Islam di Nusantara hendaknya juga tidak dengan mudah kita berikan pada mereka yang belum menguasai Islam secara kaffah. Ini semua semata-mata untuk menghargai dan menghormati mereka pewaris nabi di tanah nusantara.
Kita juga seharusnya hati-hati memberi gelar kiai kepada pemuka agama kita. Zaman dahulu, tidak ada yang berani mengolok-olok kiai karena takut kualat. Namun kini, foto kiai pun diinjak-injak. Bahkan, beberapa kiai sampai masuk bui dan mendekam dibalik jeruji penjara, beberapa diantaranya dijerat KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dengan dakwaan korupsi. Sungguh hal yang sangat memalukan.
Akhirnya, kiai tidak hanya kita hormati dan kita banggakan, terutama oleh para putranya. Namun juga kita teladani dan lanjutkan perjuangannya.
Gus, bukan hanya orang tua mu saja yang kita banggakan, tapi beliau lah yang kita teladani. Kalau ayahmu seorang kiai yang telah menghasilkan banyak karya, terus apa karyamu “Gus”? Kalau ayahmu seorang kiai, kamu seorang apa “Gus”? Kalau ayahmu yang kiai sudah menulis banyak kitab, berapa kitab yang sudah kau tulis “Gus”?
*) Penulis Bukan anak seorang kiai
Referensi
- M. Habib Chirzin, 1983: 94 (https://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren)
- Zamakhsyari Dhofier The Pesantren Tradition: A Study of the Role of the kiai in the Maintenance of the Traditional Ideology of Islam in Java Tempe, AZ: Arizona State University Program for Southeast Asian Studies Monograph Series.
- http://two-ink.blogspot.com/2011/10/gus-emen.html
- muslimedianews.com, www.tasbihnews.com, www.moslemforall.com,
- www.cyberdakwah.com, www.beritaempat.com, www.beritateratas.com, www.arrahmah.co.id, etc.