Sebelum masuk kuliah dan sebelum di-ospek. Saya di pre-engineering-kan. Beruntung, karena itulah nilai lebih kami yang masuk seleksi melalui PMDK (pada waktu itu) dibanding mereka yang masuk melalui SPMB. Selama sebulan kami digodok, diajari lagi apa itu Fisika, Matematika, plus Pemrograman Komputer. Persiapan sangat penting sebelum bertanding, yakni dalam kuliah yang sesungguhnya.
Gate Teknik Fisika ITS (image source: Panoramio) |
Saya pun mengikuti ospek, meski saya tidak setuju dengan sistemnya saya ikuti saja, toh ada baiknya. Alhamdulillah, dari tahun ke tahun, ospek maba di ITS mengalami peningkatan, meskipun sedikit sekali. Di awal kuliah, saya langsung tancap gas pada bidang akademik. Saya termasuk yang paling awal ikut LKTI, masuk Lab, dan ikut beberapa kompetisi ilmiah. Ini budaya yang sudah saya bangun sejak SMA. Meskipun jarang menang tapi saya menyukai atmosfer berkompetisi. Life is competition, do the best to be winner!
Saya termasuk yang biasa saja saat kuliah, pernah bolos, pernah tidak lulus mata kuliah dan pernah (sering) tertidur saat kuliah. Materi kuliah di Teknik Fisika yang gado-gado kadang menyulitkan mahasiswa untuk bisa menguasai semua materi. Karena saat itu saya sudah masuk Lab (Lab. Rekayasa Akustik dan Fisbang), maka saya fokuskan untuk lebih mempelajari bidang akustik dan getaran saja, serta beberapa bidang yang saya sukai. Jujur saja, di awal kuliah, ketika diceritakan betapa sejahteranya seorang instrument engineer, saya tergiur untuk masuk bidang instrumentasi. Akhirnya saya menyadari, teknik fisika bukan mendidik mahasiswanya untuk menjadi seorang instrument engineer saja, tapi lebih dari itu, seorang physics engineer yang mampu memahami ilmu Fisika dibalik suatu fenomena yang terjadi serta memecahkan persoalan yang dihadapinya dengan mengaplikasikan pengetahuan yang dimilikinya tersebut, itulah engineering physics, fisika teknik.
Kuliah di Teknik Fisika saya selesaikan dengan waktu normal, 8 semester. Ada beberapa teman yang lulus 3.5 tahun, ada juga yang molor hingga 7 tahun, it's a choice. Selesai kuliah, ada dua pilihan: S2 atau kerja. Saat itu, saya berkeinginan untuk melanjutkan ke S2, kalau bisa di luar negeri. Empat bulan lamanya saya gunakan untuk mengupdate dan mengupgrade kemampuan bahasa Inggris saya karena itulah jendela dunia. Saya optimis, tapi juga harus realistis. Jika dalam 6 bulan saya belum dapat beasiswa, saya akan cari kerja atau S2 di Indonesia. Saya tidak mau menunggu karena waktu adalah sumber daya tak terbarukan: mana yang lebih dulu, itulah yang saya ambil. Saya akhirnya diterima di S2 Teknik Fisika yang baru setahun berdiri, inilah next step saya untuk menjadi Physics Engineer.
Pada pertengahan S2 di TF – ITS, saya mendapat beasiswa riset ke Kumamoto University, Jepang. Di Jepang, saya berbaur dengan rekan-rekan computer science dan electrical engineering. Disinilah letak luwesnya ilmu teknik fisika, kita bisa hinggap ke bidang lain tanpa meninggalkan basis fisika kita. Disana saya mendalami komputasi akustik, khususnya sound processing untuk pemisahan suara berbasis binaural ears. Karena memiliki dasar fisika yang kuat, kita bisa memahami dan nyambung ketika diajak ngobrol dengan kawan dari elektronika, informatika dan bidang-bidang keteknikan yang lain. Kelemahannya, karena diibaratkan laut luas yang dangkal, kita kurang bisa diajak ngobrol pada hal-hal yang detail. Disinilah perlunya spesialisasi tanpa meninggalkan ground base engineering physics kita. Keluwesan dan pemahaman yang luas yang dimiliki oleh seorang physics engineer merupakan kelebihan yang harus tetap dipertahankan.
Selesai S2 saya bekerja di perusahaan manufaktur di Jepang. Meskipun hanya mengoperasikan mesin dan mengecek kualitas produk, disini keahlian teknik fisika kembali membawa banyak manfaat. Dasar-dasar engineering seperti sistem pengukuran dan trouble-shooting-nya memudahkan saya menjadi junior engineer saat itu. Materi praktikum pengelasan saat kuliah memudahkan saya untuk mengoperasikan panasonic welding system yang sudah semi otomatis. Di bidang instrumentasi, meskipun hanya menggunakan jangka sorong dan mikrometer, namun pentingnya kecermatan dan ketelitian pengukuran yang diberikan pada saat kuliah sistem pengukuran di kelas, banyak membantu kerja saya saat itu. Teknik fisika adalah tentang bagaimana mengaplikasikan ilmu fisika, membuat teknologi yang memudahkan dan menyelesaikan persoalan hidup umat manusia.
Dengan memilih teknik fisika saya bisa menjadi “bunglon”, pindah dari bidang satu ke bidang yang lain dengan fleksibel. Tiga bulan yang lalu mengikuti saya mengikuti workshop tentang complex system yang full matematika dan fisika teori, bulan lalu saya ikut intensive course pada manajemen teknologi dan inovasi dan sekarang saya sedang mengikuti workshop superkomputer. Jika tidak dari teknik fisika, mungkin akan kesulitan untuk berpindah dari Fisika teori, ke manajemen, ke informatika, ke mekanika/mesin dan elektronika. Namun karena teknik fisika adalah multidisiplin/multifacet, kita memiliki dasar hampir di semua bidang engineering yang memudahkan kita untuk masuk pada bidang yang lebih spesifik dan berpindah pada bidang yang lain.
Akhirnya kita harus memilih. Jalan seorang physics engineer bisa kemana saja: di bidang industri, pemerintahan, wiraswasta, peneliti ataupun kembali sebagai pengajar dan pendidik di kampus. Saya memilih jalan terakhir. Namun bukan berarti saya kehilangan sense of physics engineer. Di kampus saya bisa bereksperimen sesuka hati, menentukan long term goal, tidak dibatasi sachou (direktur) ataupun buchou (kepala bagian). Saya masih merasa sebagai seorang physics engineer yang tahan banting dan mampu menyelesaikan masalah. Seperti kata dosen saya dulu, “yaopo carane kudo iso”. Atau seperti katanya SBY, “harus bisa", dan pasti bisa. Dan inilah esensi terakhir physics engineer menurut saya: the art of problem determination: ketahanan dalam menghadapi masalah. Menyelesaikan masalah teknik dengan basis fisika dan logika/matematika yang dimilikinya.
/bta, research engineer @VibrasticLab.