Dalam kaitan korupsi secara luas, yakni KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), dua perkara bisa kita cegah yakni korupsi dan nepotisme, namun untuk kolusi, kadang kita harus melakukannya untuk mendapatkan hak-hak kita.
Deklarasi Anti Korupsi parpol yang sebatas di mulut saja |
Praktik kolusi yang terpaksa kita lakukan biasanya berkenaan dengan pengurusan dokumen administrasi pemerintahan seperti dalam pembuatan akta kelahiran, ktp, surat nikah, SIM dan paspor. Kadang tak sungkan-sungkan, oknum pegawai negeri dengan terang-terangan meminta uang pelicin, padahal hal tersebut tidak ada dalam aturan resminya. Jika kita tidak membayar uang tersebut, maka dokumen administrasi seperti KTP tidak diberikan. Saya pernah mengalami hal ini, oknum aparat desa dengan cara halus meminta uang sebagai tebusan KTP saya. Begitu juga dalam pengurusan SIM, jika kita mengikuti prosedur resmi, cenderung untuk tidak lulus ujian SIM. Walhasil, terpaksa kita memanfaatkan jalur pintas dengan membayar uang pelicin kepada oknum polisi. Saya juga melakukan hal yang sama.
Saat mahasiswa, saya mulai mengenal birokrasi kampus dan pemerintahan yang ribet. Untuk mengajukan dana penelitian, kita diharuskan membuat anggaran dana yang terpaksa harus di mark up. Jika tidak di mark up, konon katanya anggaran yang disetujui lebih kecil, jadi anggaran tersebut di naikkan dulu, toh nanti yang disetujui juga lebih rendah. Belajar me-mark up anggaran dana ini bahkan sudah diajarkan pada pengurus organisasi semisal OSIS di tingkat SMA, mungkin juga mulai SMP. Jadi, sejak kecil kita sudah dididik untuk korupsi. Sistem di negara kita-lah yang salah dalam mendidik warganya.
Bila anggaran dana penelitian disetujui, dalam beberapa bulan kita akan diminta laporan pertanggung-jawabannya (LPJ). Padahal penelitian baru saja dimulai, terpaksa lagi kita harus merekayasa neraca keuangan penelitian supaya seimbang (balance sheet). Bila ditulis dengan jujur, hampir tidak mungkin membuat neraca keuangan yang seimbang (pemasukan=pengeluaran), namun sistem lah yang memaksa kita seperti itu. Pun, kita terpaksa harus berbohong dalam menulis laporan LPJ tersebut dengan merekayasa data dan anggaran yang terpakai dengan alasan yang sama: kalau tidak direkayasa, tahun depan kemungkinan penelitian kita tidak akan disetujui.
Di negara maju seperti Jepang, perjalanan dinas akan diganti oleh pemerintah yang mencakup uang transportasi, makan, hotel dan lain-lain dengan menunjukkan struk atau bukti pembayaran. Tak jarang, uang ganti tersebut melebihi dari jumlah uang sebenarnya yang kita keluarkan, jadi kita tidak perlu melakukan mark up untuk mendapatkan dana lebih besar.
Dalam pengurusan dokumen administrasi yang lain, hampir di semua lini kita dipaksa untuk melakukan kolusi. Misalnya dalam pendirian sekolah atau lembaga pendidikan, organisasi, madrasah, tempat ibadah dan sejenisnya, kita dipaksa untuk mengeluarkan sejumlah uang agar pendirian lembaga tersebut disetujui oleh pemerintah. Setelah lembaga tersebut berdiri, untuk mendapatkan bantuan dana dari pemerintah yang seharusnya menjadi hak lembaga tersebut pun kita juga harus mengeluarkan uang. Taruhlah jika sebuah madrasah seharusnya mendapatkan bantuan pemerintah 10 juta setiap bulannya, maka 10% dari bantuan tersebut masuk (pada calo) proses untuk mendapatkan bantuan tersebut (dipotong setelah bantuan didapatkan).
Praktik KKN ini lebih parah terjadi pada birokrasi hukum di negeri kita. Tak sedikit para hakim, pengacara, dan jaksa yang terseret kasus korupsi, padahal seharusnya merekalah yang menjadi panutan penegakan hukum. Di tingkat bawah, misalnya di kantor imigrasi, praktik KKN ini menjelma dalam pelayanan yang mereka berikan seperti dalam pemilihan paspor yang hanya melayani tipe 48 halaman (padahal kita hanya butuh tipe 24 halaman, dan harganya jauh lebih murah) atau pun pembelian map untuk aplikasi paspor yang harganya hampir dua puluh ribu rupiah (padahal harga map sesungguhnya tak lebih dari seribu rupiah). Akhirnya dengan terpaksa kita menuruti alur tersebut, bahkan tak jarang kita juga harus melakukan kolusi agar aplikasi paspor kita disetujui atau dipercepat.
Dalam praktik bernegara yang katanya menganut faham demokrasi ini, di pemilihan kepala desa di sebuah kabupaten, total dana KKN untuk menyogok warganya bernilai 1 triliun. Uang sebanyak itu hanya berputar mungkin dalam satu hari saja. Ya mau bagaimana lagi, kalau tidak disogok, masyarakat kita tidak mau mencoblos untuk pilihan kepala desa / lurah. Di tingkat yang lebih tinggi, pemilu /pemilihan bupati, gubernur, anggota DPR/MPR, atau mungkin presiden, tentu nilai KKNnya lebih besar.
Gejala KKN di negeri kita sudah pada tahap akut sampai kita dididik untuk melakukan korupsi semenjak kecil. Mau tak mau, kita harus melakukan korupsi (lebih khusus lagi kolusi) untuk mendapatkan hak-hak kita. Jika tidak korupsi, hak kita terrampas. Siapa yang salah? Sistem lah yang salah, sistem negara kita yang sudah membudayakan korupsi di semua aspek kehidupan masyarakat. Rasulullah SAW sebagai panutan umat islam di Indonesia yang sebagian besar berhaluan ahlus sunnah waljamaah pernah bersabda,
Allah melaknat orang yang menyogok (risywah), penerima sogok, dan perantara keduanya (calo).Ya Rasulullah, maafkanlah kami yang mengabaikan pesanmu. Kami terpaksa menyogok untuk mendapatkan hak-hak kami. Ya Allah, ampunilah hambaMu ini. Jangan Engkau laknat karena kami menyogok, Ampunilah kami ya Rabb.
Epilog
Meski terkadang kita harus melakukan KKN demi mendapatkan hak-hak kita, namun sebisa mungkin kita menghindarinya. Dan bila terpaksa dan sudah melakukannya, yang bisa kita lakukan hanyalah memohon ampunan Allah dan berusaha untuk tidak mengulanginya lagi. Mari menjadi muslim yang baik, muslim yang taat pada perintah agama dan kita tunjukkan bahwa Islam benar-benar rahmatan lil alamin, rahmat bagi semesta alam. Mari menjadi Muslim Anti Korupsi.#muslimantikorupsi