Saat saya bekerja di pabrik dulu, suatu kali pernah (ibu) sekretaris perusahaan mengundurkan diri. Ceritanya begini. Saat permintaan barang sedang tinggi-tingginya, Pak Direktur (aka sachou) meminta bu sekretaris ikut bekerja di lapangan (genba a.k.a. pabrik). Besoknya si ibu sekretaris langsung minta mengundurkan diri untuk bulan depannya. Alasannya sederhana: dia melamar kerja untuk pekerjaan administrasi, bukan untuk pekerjaan lapangan (genba).
Mirip dengan cerita di atas. Suatu ketika seorang adik kelas melamar pekerjaan dosen di suatu perguruan tinggi. Setelah diterima, dia komplain karena diminta oleh kepala jurusan (kajur) untuk mengerjakan pekerjaan administrasi. Tak lama kemudian dia mengundurkan diri. Alasannya sederhana: dia melamar pekerjaan dosen, menjadi pengajar dan peneliti, bukan menjadi staf administrasi.
Dalam dua kasus di atas, hampir tidak ada pihak yang salah. Pak direktur mempekerjakan ibu sekretaris karena kekurangan tenaga kerja di lapangan. Di kasus kedua, Pak Kajur juga kekurangan tenaga administrasi (yang terampil) sehingga mempekerjakan dosen untuk pekerjaan administrasi. Dari kedua kasus, baik bu sekretaris maupun teman dosen sama sekali tidak salah. Juga, mereka sulit menolak pekerjaan yang bukan bidangnya karena statusnya sebagai karyawan pada tempat mereka bekerja. Mundur menjadi pilihan terbaik bagi keduanya.
Mundur juga bisa menjadi alasan yang logis ketika tidak setuju dengan suatu hal, misalnya ketika diharuskan untuk menginstall whatsapp (WA) untuk urusan kerja. Sangat tidak logis dan tidak etis menggunakan WA untuk urusan pekerjaan. Seorang teman pernah berujar, hari dimana dia diminta menginstall WA oleh atasannya, hari itu juga dia akan mengundurkan diri. Penggunaan WA dan sejenisnya di kantor saya sekarang ini dilarang, dan bisa fatal akibatnya bila ketahuan menggunakan aplikasi tsb di kantor.
Mengundurkan diri itu bukan perbuatan tercela. Perbuatan tercela itu seperti korupsi.