Showing posts with label Engineering Physics. Show all posts
Showing posts with label Engineering Physics. Show all posts

Monday, January 30, 2017

A Tribute for Prof. Adhiwijogo by Prof. Soegijanto: Sebuah catatan

Fisika Teknik adalah master key
-Prof. Adhiwijogo

Sejarah Fisika Teknik di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari Teknik Fisika ITB. Awalnya, Teknik Fisika ITB dibentuk untuk menjembatani sains dan teknik di Fakulteit Teknik Universitas Indonesia. Pada tahun 1950, Prof. Dr. Ir. A. Nawijn, seorang ahli fisika teknik (Natuurkundig Ingenieur) bangsa Belanda, ditunjuk untuk mengelola jurusan pendidikan teknik yang masih baru itu dengan nama Natuurkundig Ingenieur Afdeling. Pada tahun 1959 pendidikan teknik tersebut diberi nama Bagian Fisika Teknik yang tergabung dalam Departemen Fisika/Fisika Teknik, dengan ketua Prof.Ir. M.U. Adhiwijogo (SI ITB 1931-1935). Dalam waktu lima tahun, jumlah mahasiswa bagian Fisika Teknik berjumlah 25 orang. Setelah Belanda keluar dari Indonesia, masuklah Amerika dengan program Kencucky Contract Team. Bidang TF belum berkembang di Amerika saat itu sehingga di ITB pun TF tidak berkembang setelah dosen-dosen Belanda pulang ke negerinya. Satu-satunya dosen waktu itu adalah Prof. M. U. Adhiwijogo (Awalnya bernama Go Pok Oen) yang kemudian dibantu oleh pak Iskandar Danusugondho (FT ITB ‘51).

Prof. Adhiwijogo adalah insinyur sipil, namun kemudian selalu bekerja di Fisika Teknik. Latar belakang Prof. Adhiwijogo tampaknya mewarnai pengembangan Fisika Teknik. Prof Adhiwijogo mampu menyingkap aspek akustik, pencahayaan dan termal yang belum disentuh oleh Teknik Sipil. Dengan dukungan pak Iskandar Danu dan Pak R.M. Soegijanto, berkembanglah bidang keilmuan Fisika Bangunan dan Teknik Kondisi Lingkungan (TKL). Bidang tersebut bukan sekedar baru, tapi juga mampu menjawab persoalan keinsinyuran yang tidak dijawab oleh bidang keinsinyuran tradisional (teknik sipil, elektro dan mesin) pada waktu itu. Jadi, Fisika Bangunan dan TKL berada di forefront of engineering fields. Prof. Adhiwijogo meninggal pada tahun 1974.

A photo posted by Bagus Tris Atmaja (@bagustris) on
 

Sunday, October 11, 2015

A road to be physics engineer

Ketika memutuskan untuk ikut PMDK (Penelusuran Minat, bakat Dan Kemampuan) sepuluh tahun yang lalu, alasan saya memilih teknik fisika sangat sederhana. Saya suka fisika, tapi saya ingin kuliah di Teknik. Jawabannya cuma satu, Teknik Fisika. Gayung pun bersambut, saya diterima di Teknik Fisika ITS Surabaya.

Sebelum masuk kuliah dan sebelum di-ospek. Saya di pre-engineering-kan. Beruntung, karena itulah nilai lebih kami yang masuk seleksi melalui PMDK (pada waktu itu) dibanding mereka yang masuk melalui SPMB. Selama sebulan kami digodok, diajari lagi apa itu Fisika, Matematika, plus Pemrograman Komputer. Persiapan sangat penting sebelum bertanding, yakni dalam kuliah yang sesungguhnya.

Gate Teknik Fisika ITS (image source: Panoramio)

Saya pun mengikuti ospek, meski saya tidak setuju dengan sistemnya saya ikuti saja, toh ada baiknya. Alhamdulillah, dari tahun ke tahun, ospek maba di ITS mengalami peningkatan, meskipun sedikit sekali. Di awal kuliah, saya langsung tancap gas pada bidang akademik. Saya termasuk yang paling awal ikut LKTI, masuk Lab, dan ikut beberapa kompetisi ilmiah. Ini budaya yang sudah saya bangun sejak SMA. Meskipun jarang menang tapi saya menyukai atmosfer berkompetisi. Life is competition, do the best to be winner!

Saya termasuk yang biasa saja saat kuliah, pernah bolos, pernah tidak lulus mata kuliah dan pernah (sering) tertidur saat kuliah. Materi kuliah di Teknik Fisika yang gado-gado kadang menyulitkan mahasiswa untuk bisa menguasai semua materi. Karena saat itu saya sudah masuk Lab (Lab. Rekayasa Akustik dan Fisbang), maka saya fokuskan untuk lebih mempelajari bidang akustik dan getaran saja, serta beberapa bidang yang saya sukai. Jujur saja, di awal kuliah, ketika diceritakan betapa sejahteranya seorang instrument engineer, saya tergiur untuk masuk bidang instrumentasi. Akhirnya saya menyadari, teknik fisika bukan mendidik mahasiswanya untuk menjadi seorang instrument engineer saja, tapi lebih dari itu, seorang physics engineer yang mampu memahami ilmu Fisika dibalik suatu fenomena yang terjadi serta memecahkan persoalan yang dihadapinya dengan mengaplikasikan pengetahuan yang dimilikinya tersebut, itulah engineering physics, fisika teknik.

Saturday, March 15, 2014

Skema dan Cara Kerja Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA)

Berikut skema dan cara kerja pembangkit listrik tenaga air (PLTA),

Skema PLTA

Keterangan gambar:
  1. Sungai/Kolam Tandon, untuk tempat penampungan air
  2. Intake, pintu masuk air sungai/tandon
  3. Katup pengaman, berfungsi sebagai katup pengatur intake
  4. Headrace tunnel, pipa antara tandon dan sebelum masuk penstock
  5. Surge tank, berfungsi sebagai pengaman tekanan air yang tiba-tiba naik saat katup pengatur ditutup.
  6. Penstock (pipa pesat), untuk mengalirkan dan mengarahkan air ke turbin serta untuk mendapatkan tekanan hidrostatis yang besar.

Tuesday, September 16, 2008

Sensor Elektrokimia

Salah satu isu besar dalam pengembangan IPTEK dan Industri di berbagai belahan dunia saat ini adalah permasalahan yang berkenaan dengan isu lingkungan hidup. Isu ini menyangkut bagaimana kondisi lingkungan yang ada saat ini dapat terus terkontrol sehingga tidak berbahaya bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya. Permasalahan ini mengemuka ketika para peneliti mendapati bahwa tingkat pencemaran udara akibat berbagai kegiatan industri dan rumah tangga sudah mencapai ambang batas yang membahayakan. Sebuah wacana baru bagaimana membagun dunia yang berkelanjutan pun menjadi bahasan yang sangat penting untuk dirumuskan. Sebuah pertemuan tingkat dunia bahkan digagas untuk membuat kesepakatan terhadap setiap negara di dunia tentang sejauh mana kandungan zat buang yang boleh diproduksi oleh masing masing negara, yang dikenal dengan Kyoto protocol. Dalam protocol yang ditandatangani oleh sekitar 180 negara pada Desember 1997 ini disepakati bahwa negara-negara pemroduksi gas berbahaya (yang dikenal dengan greenhouse gas) diharuskan untuk mengurangi emisinya hingga 5.2% hingga tahun 2012 . Gas berbahaya ini meliputi Karbon Dioksida (CO2), Methane (CH4), Nitrit Oksida (NO2), dan Ozone (O3) ini pada kenyataanya banyak diproduksi oleh industri di negara-negara maju seperti US, negara di Uni Eropa, Jepang, Rusia dan sebagainya.
Dengan semakin meningkatnya isu lingkungan ini, tidak mengherankan jika di negara-negara industri penelitian tentang kesehatan lingkungan menjadi penelitian yang mendapat perhatian utama di samping energi dan jaringan informasi.Lebih jauh, kondisi di atas membuat meningkatnya kepedulian para ilmuwan untuk meneliti alat yang mampu mendeteksi zat-zat (baik gas maupun cairan) yang berbahaya bagi lingkungan. Alat yang mampu melakukan fungsi seperti itu dikenal dengan sebutan sensor. Sensor secara umum didefinisikan sebagai alat yang mampu menangkap fenomena fisika atau kimia kemudian mengubahnya menjadi sinyal elektrik baik arus listrik ataupun tegangan. Sensor kimia adalah alat yang mampu menangkap fenomena berupa zat kimia (baik gas maupun cairan) untuk kemudian diubah menjadi sinyal elektrik. Berdasarkan teknologi yang digunakan untuk mengubah zat kimia yang dideteksi menjadi sinyal elektrik, terdapat beberapa jenis sensor yaitu jenis sensor optik, sensor elektrokimia, sensor elektrik, dan sensor sensiitif berat. Karakteristik sensor ditentukan dari sejauh mana sensor tersebut memiliki kemampuan yang baik dalam mengenali zat yang ingin dideteksinya. Kemampuan mendeteksi zat tersebut ini meliputi: sensitivitas, selektivitas, waktu respon dan recovery, stabilitas dan daya tahan. Pada paper ini akan dibahas sensor elektrokimia khususnya Ion selective electrodes (IES) dan dan Solid-state gas sensor.
1. Ion Selective Electrodes (ISEs)
Ion selective electrodes (ISEs) adalah sensor yang mengukur secara langsung aktivitas atau konsentrasi ion dalam larutan. Misalnya untuk mengukur konsentrasi kandungan timah, sodium atau nitrat dalam air minum. Ketika ISE dicelupkan dalam suatu larutan, akan terjadi reaksi antara jenis kandungan (species) larutan dengan permukaan sensor. Sebuah kesetimbangan kemudian akan terjadi antara kedua spesies tersebut, hal itu sesuai dengan kesetimbangan perbedaan potensial antara sensor dan larutan, yang bergantung pada sebagian namun bukan seluruhnya pada aktivitas ion tunggal. Sinyal output secara luas juga bergantung pada aktivitas ion lain yang ada pada larutan, oleh akarenanya eletroda disebut selektif bukan spesifik.
Contohnya, sinyal output dari elektrode potassium bergantung tidak hanya pada aktivitas ion potassium (K+) dalam larutan, tapi juga beberapa fraksi ion sodium (Na+) yang ada. Persamaan tegangan Thevenin (open cicuit) dari ISEs untuk ion monovalent didapatkan dengan memodifikasi persamaan Nernst:
Dimana:
Eo= Teg. Konstan berdasarkan komposisi elektrode.
R = Universal Gas constant (8.314 JK-1)
Theta = Absolute temperature (K)
F = Faraday numbee (96493 C)
aK = aktivitas ion X dlm larutan
aY = aktivitas ion X dlm larutan
KX/Y = selective coefficient dari elektrode X ke Y (0~1>
Persamaan diatas hanya berlaku untuk ion monovalen, jika n-elecrton direaksikan dalam suatu larutan maka F harus diganti dengan nF.
Pada Gambar 1 ditunjukkan sistem dasar untuk pengukuran aktivitas atau konsentrasi dari ion dalam larutan. Karena ISE hanya single electrode dan hanya satu setengah sel elektrokimia, maka harus digunakan electrode standar referensi yang cocok, dicelupkan dalam larutan yang sama. Elektroda refersesni adalah setengah sel elektrokimia yang tegangannya ditahan pada nilai konstan oleh kesetimbangan kimia yang dijaga didalamnya.
Aplikasi sensor ISE dalam industri khususnya untuk pengukuran pH. Keasaman dan kebasaan suatu larutan perlu dimonitor untuk mengevaluasi proses yang terjadi.
Gb.1 Sistem dasar (a) dan electrode ISE (b)

Untuk mencari tegangan theveninnya dapat digunakan persamaan (1). Karena ion H+ yang akan diukur hanya ion kecil positif untuk dicocokkan dengan silica lattice maka koefisien K dianggap nol sehingga diperoleh persamaan:

Dengan memakai persamaan (2) pada =298 K (25’ C)
Tegangan output sensor ini proportional dengan perubahan pH dengan sensitivitas sebesar – 59.2 mV/pH pada suhu 25’C.
2.Solid state gas sensors
Beberapa material solid-starte memberikan respon elektrokimia untuk beberapa gas tertentu. Misalnya Zirconium Oxide yang sensitive terhadap oxygen pada campuran gas. Sensor gas solid-state terdiri atas kerucut berongga oksida, dijaga pada suhu 640’C. Temperatur ini dicapai dengan heater dan dijaga oleh heater control. Pada bagian dalam dan luar sensor ini dengan porous platinum. Karena crystal lattice lowong/kosong maka zirconium oxide bertindak sebagaim elektrolit konduktor pada temperatur tinggi. Artinya, ada perbedaan tekanan pada bagian dalam dan luar kerucut berongga, maka ion oksigen akan berpindah melalui sensor dan menghasilkan sejumlah tegangan yang melintasi elektroda platinum. Tegangan theveninnya diberikan oleh persamaan Ernst.

<

Dimana,
Pref= partial pressure of oxygen in refference gas (cone inside).
Psam= partial pressure of oxygen in sample gas (cone inside).
Dengan menjaga temperature dan tekanan parsial pada udara di dalam maka sensor akan konstan, ETH akan bergantung hanya pada tekanan parsial oksigen pada bagian luar sensor. Sensitivitas sensor ini berkisar 60 mV/% O2 pada suhu 640’ C.
Jenis sensor gas solid-state yang lain adalah : Bead-type sensor dan Chip-type sensor. Keduanya seperti ditunjukkan oleh gambar 2.
Gb.2 Skema Bead-type dan chip-type sensor.

PUSTAKA:
[1] Anonym. Electrochemical Gas Sensor.
[2] Anonym. Solid-state gas Sensor.
[3] Bentley, John P. Principle of Measurement System. Longman Group, 1995.
[4] Dunn, William C. Fundamental of Instrumentation and Industrial Process Control. Mc Graw Hill, 2005.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...