Sunday, October 27, 2019

Menjadi logis [1]: Menyiapkan akal untuk logika

Ini adalah resume buku "Being Logical: A guide to good thinking", sekaligus referensi utama kuliah "E413: Scietific Discussion 2" di JAIST. Tulisan ini adalah resume Bab 1 buku tersebut. Judul babnya adalah: Preparing for the Mind.

Ada tiga materi utama kuliah ini:
1. Logika dan penalaran
2. Argumentasi
3. Diskusi ilmiah (lisan dan tulisan)

Untuk menjadi logis kita perlu menyiapkan sikap, pandangan dan prosedur praktis agar logika bisa masuk, diterima maupun keluar dari akal kita. Hal-hal tersebut, dibahas dalam Bab 1 buku "Being Logical", adalah sebagai berikut.

1. Memberi atensi
Menjadi atensif adalah hal mutlak diperlukan untuk menerima logika. Banyak kesalahpahaman karena kita tidak menaruh perhatian terhadap apa yang kita dengarkan. Mendengar (hear) saja tidak cukup, harus mendengar secara seksama (listen). Fokus kita bisa dilatih. Dengan melatih fokus kita pada hal-hal kecil, kita akan terhindar dari permasalahan besar.

2. Mendapatkan fakta secara langsung
Fakta bisa didapatkan secara langsung untuk objek riil (benda, tempat, dll), dan tidak langsung untuk suatu kejadian. Contoh: anda mendengar bahwa ada diskon di Matahari. Anda datang ke Matahari dan ternyata memang ada diskon. Bagaimana jika kita tidak bisa mendatanginya langsung. Contoh: Presiden Jokowi menang pemilu 2019. Dengan mendatangi website KPU, kita bisa mengkonfirmasi bahwa fakta itu benar adanya. Jika kita tidak bisa membuktikannya langsung (dengan mendatangi), maka kita perlu mengeceknya secara tidak langsung, dengan perangkat lain, misalnya website pada contoh di atas.

3. Ide dan objek dari ide
Ide dan objek dari ide berbeda. Suatu ide harus dapat direpresentasikan menjadi objek. Contoh kita punya ide mempercepat suatu proses komputasi dengan mem-by pass prosesnya. Ide tersebut direpresentasikan dalam bahasa pemrograman (objek dari ide). Cara terbaik untuk mengklarifikasi ide (apakah berjalan atau tidak) adalah dengan melihat objeknya, berhasil atau tidak.

4. Memperhatikan asal ide
Kita pada dasarnya yakin bahwa ide dari akal kita. Murni dari akal kita? Tidak. Lingkungan berpengaruh. Ide kita muncul karena lingkungan, tempat, waktu dan latar belakang lainnya. Jika gagal menghubungkan ide kita dengan asalnya (ide) secara sistematis, maka ide tersebut menjadi unreliable, tidak terpercaya.

5. Mencocokkan ide dengan fakta
Ada tiga komponen dasar pengetahuan: fakta obyektif (contoh: seekor kucing), ide dari fakta tersebut (ide seekor kucing), kata untuk merepresentasikan ide tersebut (kata "kucing"). Contoh ide tentang kucing tersebut dikatakan ide "sederhana" kata ide tentang kucing hanya bisa direpresentasikan dengan satu hal: yakni kucing (binatang berkaki empat, mamalia, berbulu halus, dengan kuku yang bisa ditarik masuk). Jika suatu ide tidak bisa dihubungkan satu-ke-satu (seperti contoh kucing di atas), maka disebut ide "kompleks". Contoh: demokrasi. Ide tentang demokrasi bisa dipresentasikan menjadi banyak hal: orang, even, konstitusi, legislative, (demokrasi) terpimpin, rakyat, institusi, institusi masa lalu, institusi sekarang. Suatu ide dikatakan jelek jika jaraknya dengan semakin jauh dengan fakta. Ide harus sejalan dan selaras dengan fakta. Dan kita bertanggung jawab mengeluarkan ide-ide yang jelas, selaras dan terukur dengan fakta yang ada.

6. Mencocokkan kata-kata dengan ide
Ada kalanya orang mempunyai ide, tapi kata-katanya tidak sesuai dengan ide tersebut. Apa yang diucapkan tentang suatu ide, tidak sama, atau tidak dapat dipahami sepenuhnya. Contoh, ide tentang kucing hanya dihubungkan dengan "binatang berkaki empat". Definisi tersebut tidak presisi. Untuk mendapatkan kata-kata yang cocok dengan ide, kita harus menurunkannya dari sumber ide tersebut secara obyektif. Contoh: Puncak monas terbuat dari perunggu yang dilapisi emas. Jika ternyata memang puncak monas terbuat dari perunggu yang dilapisi emas, maka statemen tersebut benar. Akan kurang cocok/pas jika kita mengatakan: puncak monas terbuat dari perunggu; atau, puncak monas terbuat dari emas.

7. Komunikasi efektif
Bahasa dan logika berhubungan secara tak terpisahkan satu sama lain. Setelah mencocokkan kata-kata dengan ide, maka langkah selanjutnya adalah meletakkan idea secara bersamaan untuk membentuk pernyataan yang koheren. Jika saya berkata "anjing atau kucing", anda akan menunggu perkataan saya selanjutnya. Contoh, "Anjing atau kucing yang lebih galak...?". Ketika anda pertama kali mendengar saya berkata "anjing atau kucing" di pikiran anda sudah ada gambaran tentang obyek anjing atau kucing. Setelah saya berkata "mana yang lebih galak", maka anda dapat segera menjawab: Anjing, berdasarkan ide di pikiran anda, dari perkataan saya.

Statement adalah ekspresi linguistik yang memberi respon "benar" atau "salah", membenarkan atau menyalahkan suatu berita/kejadian. Jika saya hanya berkata "anjing" saja, maka mungkin tidak terlintas benar atau salah. Namun jika saya mengatakan "ada anjing di garasi mobilmu", anda akan merespon, atau memberi statemen/pernyataan, benar atau salah.

Beberapa petunjuk untuk berkomunikasi efektif adalah sebagai berikut:
  • Jangan berasumsi audiens akan faham maksud anda jika anda tidak menyatakannya secara eksplisit.
  • Berbicara dengan kalimat utuh.
  • Jangan memberlakukan pernyataan evaluatif sebagai fakta objektif (contoh: Gedung lawang sewu berbentuk aneh vs Gedung lawang sewu di semarang).
  • Hindari dobel negatif.
  • Sesuaikan bahasa kita dengan audiens.

8. Hindari bahasa yang samar dan ambigu
Dalam mengutarakan ide, kita harus menggunakan bahasa yang lugas dan tidak ambigu. Bisa jadi, karena kita menggunakan bahasa yang samar dan ambigu, penerimaan audiens berbeda dengan maksud kita. Bedakan antara "versi terakhir" dengan "versi tanggal 22 Maret 2019", mana yang lebih jelas? yang kedua. Menggunakan bahasa yang sederhana, jelas dan tidak ambigu akan mempermudah pemahaman. Sebaliknya, menggunakan kata yang samar (tidak jelas maknanya) atau ambigu (bermakna ganda) akan memperbesar peluang kesalahpahaman.

9. Hindari bahasa elakan
Bahasa elakan (evasive) merupakan bahasa yang tidak jelas. Contoh: "terserah", "tidak yakin", dan semisalnya. Bahasa diplomatis termasuk dalam hal ini. Menggunakan bahasa elakan ini akan membuat arti dari ide yang kita sampaikan menjadi berbeda (dan multitafsir). Jangan menggunakan bahasa yang sangat tidak umum, contoh dalam bahasa inggris: sledgehammer (palu besar dengan pegangan yang panjang). Jika bisa menggunakan kata yang pas, tidak kasar dan tidak susah, maka gunakan kata tersebut. Jika tidak mendapati, gunakan kata lain yang mendekati maksudnya, disertai keterangan tambahan.

10. Kepercayaan
Puncak dari nalar dan logika adalah kepercayaan. Kita menyatakan ide untuk bisa dipercaya, sebagaimana fakta, pernyataan, atau argumen. Ada dua jenis kepercayaan: ontologis dan logis. Dari keduanya, ontologis merupakan kepercayaan dasar. Dengan kepercayaan ontologi, kita mempercayai adanya atau eksisten hal yang kita percayai tersebut. Contoh: ada lampu belajar di meja saya. Itu adalah kepercayaan ontologis, karena benar adanya. Kebalikannya adalah ketidakadaannya.

Kepercayaan logis diturunkan dari kebenaran suatu pernyataan. Kepercayaan logis ini adalah kesesuaian antara pernyataan dengan fakta objektif (correspondence theory of truth).  Ada kesesuaian antara teori tersebut dan objek dari teori tersebut. Lebih jauh, bisa saja ada kesesuaian bukan karena eksistensinya (tidak bisa dinyatakan secara eksplisit), namun sesuai dengan fenomena yang ada dan kepercayan-kepercayaan sebelumnya. Contohnya: Teori relativitas khusus Einstein. Teori tersebut dipercayai secara logis karena mampu menjelaskan bagaimana alam semesta bekerja. Kepercayaan logis jenis ini disebut "coherence theory of truth" karena adanya kesesuaian antara teori tersebut dengan teori-teori sebelumnya (established theory).

Untuk membangun kepercayaan, kita bisa menggunakan dua cara; percaya hal itu benar adanya, atau mungkin saja benar. Yang pertama tentu lebih kuat, disinilah logika ontological truth menjadi dasar dari logical truth. Contoh: Saya katakan "ada anjing di garasiku". Anda bisa saja percaya karena melihatnya sendiri, atau percaya tanpa melihatnya dengan fakta bahwa saya punya anjing, dan sangat mungkin anjing tersebut berada di garasi saya. Sebaliknya, dengan fakta bahwa saya seorang muslim yang menghindari anjing sebagai binatang peliharaan, dan anda tidak pernah melihat saya bersama (mempunyai) anjing, maka anda mempunyai dasar yang kuat untuk tidak mempercayai pernyataan saya tersebut. Inilah perlunya menyiapkan akal untuk logika.

Bersambung di sini: Prinsip dasar logika.

Referensi:
[1] McInerny, Dennis Q. Being logical: A guide to good thinking. Random House Incorporated, 2005.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...