source: Heriyanto Nurcahyo (http://edukasi.kompasiana.com/2012/01/20/agama-main-main/Ini)
Di Starbucks coffe shop
itulah kami janji bertemu. Inilah kali pertama bagiku “ngopi” di
jaringan kedai kopi terkenal dunia itu.Letaknya di Sotenggai
pusat perbelanjaan termasyur di Kumamoto-Shi.Tempat ini terkenal
dengan nama Shimatori dan Kamitori. Pusat perbelanjaan terbesar yang
memanjang dengan jalan utama ditengah-tengahnya. Ribuan orang tiap hari
hilir mudik di Archade ini. Ratusan outlet dan butik tersebar
bak bulir-bulir salju yang terjatuh dari langit.Kemeriahannya semakin
menjadi hidup tatkala mata kita memandang ribuan orang silih berganti
keluar masuk pusat perbelanjaan dengan dandanan yang sangat stylish dan
modis sekali. Namun yang hendak saya ceritakan bukanlah tentang para
shopaholic itu,atau orang-orang yang sekedar windows shopping,bukan itu tapi tentang seseorang yang aku temui di Starbucks.
Sonoda Mariko namanya. Saya memanggilnya Mariko san.
Seorang perempuan paruh bayah. Dia menemuiku setelah sebelumnya
menghubungiku untuk sekedar memberitahukan bahwa dia kini telah menjadi
Host Family ku selama di Jepang.Mulailah dia bercerita
tentang kehidupannya. Ia yang dulunya direktur perusahaan makanan
terpaksa mengundurkan diri dan kosentrasi sepenuhnya pada keluarga.
Setelah saya Tanya alasan dibalik keputusannya itu,ia mengatakan bahwa
kerja di Jepang sangat memeras otak dan tenaga,bahkan tidak ada waktu
luang untuk keluarga. Dia juga menceritakan bagaimana kakaknya yang
sekarang memimpin perusahaan itu tidak punya begitu banyak waktu bahkan
untuk sekedar istirahat diliburan musim dingin ini. Saya kemudian
menjadi sangat mahfum atas penjelasan dan alasan dibalik mundurnya dia
dari jabatan itu.Meski heran juga atas keputusannya,mengingat hampr
semua warga Jepang workaholic,saya bisa memakluminya alas an dibalik
keputusannya.
Kini ia hidup bersama suami dan dua anak lelakinya, yang pertama kuliah
di jurusan tata boga sedang yang kecil masih duduk di kelas 2 SMA
terbaik di kumamoto.Saya pada kesempatan ini tidak akan bercerita
tentang keluarganya,pun juga tidak tentang bisnis sampingannya
itu,melainkan satu hal yang sampai saat ini membuatku terheran-heran
akannya.
Saat sedang asyik-asyiknya menyeruput kopi,entah mengapa
tiba-tiba muncul seberkas ide untuk bertanya tentang agama orang
Jepang. Saya juga tidak paham mengapa tiba-tiba otak saya bergolak dan
memformulasikan pertanyaan diatas. Saya juga heran mengapakah tidak
terpikir dalam benak saya jika pertanyaan itu akan mengusik sesuatu
yang sangat pribadi bagi dia.Pun,saya juga heran apapulah manfaat yang
akan saya dapat dengan memaksakan diri tentang pertanyaan itu. Dan
akhirnya pertanyaan itu tidak mampu ku bendung dan meluncur bak air
terjun,”apa sih agama orang Jepang itu?. Sontak ia menjawab,”Orang
Jepang hanya main-main dengan agama”. Kaget juga aku dengan jawaban
spontannya. Saya ulangi pertanyaan itu untuk memastikan jawabannya, dan
ternyata jawabannya sama:”Agama Hanyalah main-main bagi orang Jepang”!.
Honto ni?kataku lagi, dan lagi-lagi jawabannya sama. Dan Buku Winston Davis (1992) berjudul “JAPAN RELIGION AND SOCIETY PARADIGM OF STRUCUTURE AND CHANGE membantu meyakinkanku akan jawabannya.Dan
dari riset itu jelaslah sudah bahwa memang Agama bagi bangsa Jepang
sekedar main-main belaka.Dianggap tidak penting dan bahkan hanya
membuang waktu semata. Karena bagi sebagian orang Jepang,kerja itu
adalah agamanya. Mereka mencurahkan sepenuh hatinya bagi “agamanya” itu.
Kalau anda berkesempatan jalan-jalan ke jepang, jangan heran kalau
banyak pemudanya memakai kalung salib, anda tidak bisa secara otomatis
memastikan bahwa mereka Kristen atau katolik. Karena sebagain besar
mereka memakainya sekedar buat “gaya-gayaan ” belaka. Dan kalau anda
ketemu orang jepang, banyak yang menggelengkan kepala saat anda Tanya
tentang agamanya. Anehnya, meski mereka mengaku tidak beragama,
SHRINE,Jinjai, selalu di padati orang Jepang saat pergantian tahun,
biasanya mereka berdoa saat itu. Banyak orang Jepang yang kawin dengan
tata cara agama Shinto,atau yang lebih modern tata cara Kristen, dan
meninggalnya biasanya dengan tata cara Budha. So, paling tidak mereka
beragama secara beragam.
Lantas,bagaimana kehidupan mereka tanpa agama? Ternyata kehidupan
mereka jauh lebih beragama dari Negara yang beragama sekalipun.
Kesopanan,kejujuran,tertib,adil dan nilai-nilai kebaikan lainnya selalu
menghias kehidupan mereka. Bagi mereka yang disebut agama adalah
tradisinya,budayanya dan kebiasaan-kebiasaan produktif yang mereka
miliki. Dan itu mendarah daging betul di kehidupan mereka.
Sebuah penelitian sosial bertema “How Islamic are Islamic Countries”
menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling
islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Dan
Jepang berada dirangking yang cukup baik.Sementara Indonesia yang
mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140., dikutip dari
kompas.com.
Meski bangsa Jepang memandang agama hanyalah main-main belaka,namun
dalam kehidupannya mereka lebih bisa menunjukkan prilaku yang agamis
dari pada kita di tanah air.Kita Mengakunya bangsa beragama dan
menjadikan agama sebagai kebanggaan,namun dalam praktek kesehariannya
justru sebaliknya, menjauhkan nilai-nilai agama dan mendekatkan
nilai-nilai keburukan:korupsi, aniaya,dzolim,dll,akhirnya semoga kita
bisa berbenah dai main-main ini,amien.
No comments:
Post a Comment
Your comments here/Silahkan komentar disini...