If research misconduct occurs, including guest/gift authorship, the integrity of a researchers is questionable; this can PERMANENTLY and NEGATIVELY affect their career.
Salah salah praktek tercela di bidang akademik adalah ghost dan gift authorship, menuliskan nama mereka yang tidak berkontribusi di dalam penulisan paper. Penerbit seperti Elsevier dan Springer memiliki peraturan ketat dalam kasus ini, sekali praktek ini ditemukan, karya yang bersangkutan bisa ditarik. Saya sendiri sudah beberapa kali melaporkan kasus ini, tak peduli rekan sejawat, atasan, atau orang lain. Ada kalanya, mungkin, anda "dipaksa" menuliskan nama teman anda, baik kenalan, teman se-lab, se-kampus, atau se-jurusan. Untuk dimasukkan menjadi penulis (authors), setidaknya ada tiga syarat [1]:
1. Kontribusi subtansial dalam riset
2. Ikut menulis draft
3. Menyetujui versi final dari draft
Cara mengetes ghost author, menurut elsevier, adalah bahwa semua penulis mempunyai kemampuan dan kewajiban yang sama dalam mempertahankan ide di dalam tulisannya. Oleh karena itu, jika ada seorang penulis (co-authors) yang tidak bisa menjelaskan atau menjawab pertanyaan terkait tulisannya, bisa jadi penulis itu adalah ghost, guest atau gift author.
Compliance is more than just obeying laws.
Dalam publikasi ilmiah, kita memiliki code of conduct. Dalam setiap submisi artikel, kita diwajibkan menuliskan kontribusi setiap penulis dalam artikel. Secara
common sense, setiap mereka yang namanya ada pada paper pasti berkontribusi. Hukum penulisan ini wajib kita patuhi. Bahkan diatasnya, ada etika yang seharusnya kita taati juga: menghindari research misconduct termasuk gift, ghost atau honorary authorship ini.
Jika ada orang lain yang meminta namanya ditulis dalam sebuah paper, sebaliknya ada juga orang yang melarang namanya ditulis dalam sebuah paper. Seorang teman S3 pernah bercerita bahwa professornya, meminta namanya tidak dimasukkan dalam publikasi teman saya tersebut karena dia tidak berkontribusi sama sekali.
Institusi kita punya visi dan misi mulia yang ingin diraih. Kita tidak bisa menghalalkan segala cara untuk meraih visi dan misi itu. You CANNOT choose just any method to achieve your goal. There is a "path we should take" among them. Goal adalah visi institusi kita yang ingin kita capai. Jelas disini bahwa ghost dan gift authorship tidak termasuk dalam "path we should take".
Rezeki tidak hanya dari insentif publikasi. Masih banyak jalan dan pintu rezeki berkah dan halal lainnya daripada memasukkan nama istri, teman, atau atasan yang tidak berkontribusi pada publikasi ilmiah kita. Praktek tercela ini membahayakan insitusi kita. Semoga kita terhindar dari praktek tercela ini.
Ghost authorship untuk memperbesar peluang diterimanya paper
Ini disebut efek Chaporone [3]. Penulis Chaperone adalah penulis senior yang telah menulis beberapa journal, katakanlah di jurnal A. Untuk memperbesar kans diterima di journal A, penulis junior mengajak atau memasukkan nama penulis Chaperone saat submisi ke Jurnal A. Tujuannya adalah untuk mempertinggi kans diterima di jurnal A.
Ada kasus dimana peneliti yang sudah meninggal tetap dilibatkan dalam pembuatan paper. Kasus ini [2], ditengarai untuk memperbesar kans diterimanya paper tersebut di sebuah jurnal. Anggaplah peneliti yg sudah meninggal tsb adalah peneliti terkenal, misal peraih nobel. Dengan memasukkan namanya sebagai co-author maka kans diterimanya sebuah paper dalam jurnal mungkin akan bertambah besar. Hal yang tidak mungkin dilakukan oleh peneliti yang sudah meninggal adalah pada persyaratan nomor 3 authorship di atas: menyetujui versi final. Pun demikian, hal ini (memasukkan penulis yang sudah meninggal) bisa saja dilakukan bila penulis yang telah meninggal tersebut benar-benar berkontribusi dan disebutkan dalam "Aknowledgement" bahwa salah satu penulis telah meninggal sebelum paper diterbitkan.
Kenapa ada praktek Ghost Authorship, khususnya di negeri kita?
Seorang sejawat bertanya, kenapa kondisi ideal (tidak ada ghost authorship) tidak bisa diterapkan di, khususnya, negeri kita tercinta. Banyak faktor. Diantara banyak faktor, menurut saya yang paling penting adalah mental peneliti dan kecukupan ekonominya. Di negeri kita, mental peneliti belum terbentuk secara ideal. Alih-alih melakukan "impactful research"; yang dilakukan peneliti adalah bagaimana mendapatkan cuan dari penelitian, entah itu dari insentif, kenaikan pangkat, dll. Disini mental peneliti yang bersangkutan bermasalah. Bisa jadi karena tidak ada pendidikan "Compliance and Researcher Ethics" untuk para peneliti (di institusi saya, setiap peneliti diwajibkan mengambil e-learning ini setiap tahunnya dan wajib lulus ujian e-learning tsb). Kondisi ini diperparah dengan kecukupan ekonomi peneliti yang bersangkutan. Selama kebutuhan dasar belum terpenuhi (sandang, pangan, papan), maka dia akan mencari segala cara (dan mungkin saja menghalalkan segala cara) untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Salah satunya dengan meminta rekannya untuk memasukkan namanya saat publikasi. Agar, ketika mendapat insentif, dia juga ikut kecipratan. Sekaligus mempercepat proses kenaikan pangkat.
Lalu, Bagaimana solusinya?
Alih-alih menuliskan teman atau orang lain sebagai ghost authorship, kita bisa menawari mereka untuk berkontribusi, misalnya:
- Funding, membiayai biaya publikasi
- Proof-read, misalnya menemukan minimal 10 kesalahan dalam draft dan merevisinya
Dengan cara itu, seorang menjadi layak menjadi co-author. Dengan catatan, sekali lagi, kontribusinya substansial (dua diatas adalah contoh kotribusi yang substansial).
Referensi:
[1] https://www.jscpt.jp/eng/journal/kitei.html
[2] https://retractionwatch.com/2024/02/16/highly-cited-scientist-published-dozens-of-papers-after-his-death/
[3] V. Sekara, P. Deville, S. E. Ahnert, A. L. Barabási, R. Sinatra, and S. Lehmann, “The chaperone effect in scientific publishing,” Proc. Natl. Acad. Sci. U. S. A., vol. 115, no. 50, pp. 12603–12607, 2018, doi: 10.1073/pnas.1800471115.