Thursday, September 08, 2011

Rendezvous di Air Terjun Tirtosari, Sarangan

Berawal dari sebuah sms yang mampir ke hapeku, rabu malam waktu setempat (wmpt, waktu mpt), bunyinya kurang lebih gini: "Gus, besok tmn2 ngumpul di lapangan kraton, jam 9 pagi, datang ya…”, Langsung aja kubalas tu sms: ”Mau maen bola ya Non, apa jam 9 pagi itu gak kesiangan…?”

Karena tidak (belum) punya kendaraan, aku pun sms beberapa teman untuk numpang (boncengan) datang ke acara jam 9 itu. Namun siapa sangka yang menjemputku malah si Dave, dengan sedan putihnya pula. Dia membukakan aku pintu mempersilahkan aku masuk, hehehe gak benar. Yang benar aku membuka sendiri pintu mobilnya dan memaksa ikut numpang ke acara jam 9.
Bersama Mursit, Esti, Ayu dan .... Yanti

Meski agak terlambat akhirnya kami berangkat menuju lapangan kraton. TAPI, setelah sampe disana, lapangan tsb kosong melompong. “Apa teman2 sudah selesai main bola ya Dave..?” tanyaku pada Dave. Dave pun menjawab: “Lha nek kowe takon aku, trus aku takon sopo Gus..?”, Wkwkwk…

Husnudhon bahwa acara main bola tidak molor, kami beranggapan bahwa kami terlambat, dan teman2 sudah selesai main bolanya. Sekarang nggak tw kemana. Untuk memastikan, aku coba hubungi si memet: “Wet, acara main bolanya udah selesai ya.., katanya jam 9…?”. Tak berapa lama pun hapeku kembali berbunyi, si Mewet menjawab: "Belum Guss, ni aku masih nungguin eyang putri di kantor pos…”

Dari dalam sedan putihnya si Dave, aku melihat beberapa pemain bola seliweran di depanku, tapi karena aku bukan panitia pertandingan bola ini aku ya diem aja, Cuma memperhatikan aja. Tapi waktu eyang putri datang aku pun memberanikan diiri untuk memanggilnya, karena beliau panitia acara ni.
“Halo eyang, kok pemain bolanya tidak ada yang datang, tadi aku lihat beberapa pemain, namun karena aku bukan panitia pertandingan ini aku ya diam aja. Lagian aku juga tidak yakin mereka pemain2 kita, karna udah gak bertemu 7 tahun lebih”. Walhasil, karena tidak ada pemain lain yang datang, akhirnya kami menyusul si mursal yang tadi di serahi tugas menyusul es the. Di rumah es teh , yg hanya beberap meter dari rumahku, dicapai kesepakatan (dengan sedikit intervensi dariku) bahwa kita berlima akan ke Sarangan, telaga eksotik kebanggan ki mageti. Dengan sedikit intervensi lagi, aku memaksa tidak hanya ke sarangan tapi ke air terjunnya (aku kan suka banget ke air terjun, hehehe…).

Tepat pukul 12.30 wmpt, after dhuhur’s, kita berlima berangkat ke rumah ki mageti. Si Dave gak bisa ikut karena ada keluarganya yg datang dari kampung halamannya. Ada tiga riders yang memenuhi kualifikasi kecepatan minimum moto GP untuk menjinakkan kuda besi: aku, mursal dan es the. Akhirnya dengan kecepatan maksimal kami bisa mencapai tepi telaga saringan ditengah teriknya sang surya yg over memancarkan pesonanya.

Udara panas menyengat berganti dengan udara panas menyegarkan begtu kami memasuki area ki mageti. Meski sama-sama panas, tapi kali ini lebih segar karena tekanan udara sudah turun seiring ketinggian altitude (benar gak sih..?). Naik lebih ke atas lagi yang terasa malah dinginnya, sedangkan udara panasnya udah lupa kemana…
Foto Esti & Ayu

Sarangan memang rame, tapi kami tidak patah arang. Dengan sedikit intervensi lagi, aku memaksa agar sepeda kita diparkir di luar saja, biar tantangannya lebih kerasa dengan berjalan lama (semi-long trekking). Dengan begini, ke empat temanku akan bisa merasakan nikmatnya menjadi pedestrian, untung gak menenteng carrier atau backpack, cuma tas selempang kecil nan ringan.

“Jangan mengambil sesuatu kecuali foto”. Pepatah itu kami terapkan sebaik-baiknya. Anytime and anywhere, teman2ku tidak akan menyia-nyiakan pose siap jepret: di depan air terjun, di jembatan, Hmmm….

Sepertiga perjalanan (sama dengan separo mengitari telaga saringan), kami memasuki gapura wana wisata & air terjun. Kami bayar karcisnya, dan kami berjalan kembali, menikmati menjadi pedestrian (nikmat gak teman2..?). Dua pertiga perjalanan akan kami lalui setelah penitipan sepeda motor terakhir, dimana seharusnya kami menitipkan tunggangan kami, bukan di luar sana. Sedangkan sepertiga perjalanan terakhir, inilah yang membedakan air terjun ini dengan air terjun lainnya (semisal: Coban Rondo, Coban Pelangi, Madakaripura, Kakek Bodo, Coban Talun, Sedudo, Grojogan Sewu, nDlundung de el el).
Di Jembatan Menuju Air Terjun Tirtosari Sarangan


Yah, aku lebih menikmati sepertiga perjalanan terakhir dari pada air terjun tirto itu sendiri. Dibandingkan coban rondo dan air terjun madakaripura, tempat dimana Gajahmada mengucapkan sumpahnya yang terkenal itu, air terjun tirto memang tidak ada apa-apanya. Tapi perjalanan menuju air terjun tirto itulah yang membedakan air terjun tirto dengan air terjun lain. Perjalanan kaki (on foot) yang lama harus ditempuh jika kita ingin merasakan tetesan air terjun tirto membasahi kepala kita. dan yang lebih penting lagi, selama perjalanan, view-nya pu Wouow…. Kanan kiri sawah berpetak-petak dengan terasering yang seperti undak-undakan, dibelakangnya bukit-bukit melindungi dengan kokohnya. Sementara sinar mentari yang hampir tenggelam hanya mampu menjangkau bagian atasnya saja. Indah banar bukan..? Pernah, saat pertama kali ke tempat itu aku menjumpai seorang ibu petani menunaikan sholat diatas batu datar ditengah-tengah sawah. So natural…. Dengan mukena putih, Ibu tsb dengan khusu’nya berdialog dengan sang Kholiq diatas sebongkah batu. Andaikan waktu itu aku bawa camera, pasti Ibu tsb udah aku photo dan aku yakin foto tsb akan menjadi cover majalah national geographic edisi bulan itu (hehehe, pede kebablasen..).

Selesai “bermain air-basah”, kami turun gunung. Tentunya, sate kelinci, menu wajib khas telaga saringan itu tak luput dari santapan kami. Karena ada diskon sate kelinci, kami imbuh. Puas berfoto-foto pun kami turun, tak lupa juga kebiasaanku setiap ke air terjun, aku selalu berwudhu di air terjun tsb (suegerr poll…).

Menjelang magrib, kami sholat ashar di mushola desa sarangan. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan kembali. Seperti juga perjalanan lainnya, waktu turun hanya membutuhkan separo dati waktu naik. Kamipun akhirnya sampai di parkiran saringan, dan siap balik ke kota genteng (bukan genteng yg di banyuwangi, tapi ‘genteng’ atap rumah). Sadar bahwa kecil kemungkinan kami bisa mengejar sholat magrib di rumah, kami pun berhenti di masjid pinggir jalan untuk menunaikan sholat magrib, baru setelah itu kami benar2 pulang ke kota genteng.

Ba’da isya’ perjalanan berlanjut. Kali ini kita melakukan ekspansi ke kota tetangga, yang jaraknya lebih dekat dari kota kita sendiri. Alun-alun sebagai pusat kota menjadi tujuan kami malam itu. Kebetulan ada yang lagi ultah, asyik nih bisa makan-makan gratis..:-D, selesai memarkir sepeda di parkir barat Alun-alun kami pun mencari-cari makan. Hmm, susah banar cari makan, smpai muter2pun kami belum dapat. Aku sih no problem…

Selesai makan bakso (akhirnya bakso juga), kami jalan2 bentar keliling alun2. Rencanyanya sih mu maen-maen, naik ombak banyu atau apa gitu.. tapi ternyata gak ada yang minat. Aku malah lebih prefer keliling madiun naik speda mtor trus langsung pulang. Ini madiun, bukan sby. Klu d sby sih gak masalah jalan2 ma cewek sampe larut malam (hehe, just kidd). Karna ijinnya ke ortu es teh cuma sampe jam 9-an, so setelah keliling kota kami langsung cabut, balik ke arah mpt.

Sampe mpt ternyata udah jam 21.30, si mewet terpaksa harus nginep di rumahnya es teh. Di perjalananan, mursal meliat 2 orang bercengkarama di teras rumah Tia, tmn kita juga. Mursal bilang, jangan2 tu tadi hera. Daripada penasaran, aku ajak aja si mursal ke rumahnya Tia, setelah dari rmhnya es teh. Ternyata benar, setelah di telp, memang hera ada di rumanya tia. Tapi yang tadi di teras bukan hera, melainkan masnya tia. Hehehe, kebetulan yang mnguntungkan, kami bisa bertemua hera dan tia sekaligus hari itu. Tidak lama di rumahnya tia kami langsung cabut, udah malam.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...