Sebelum membaca artikel ini, ada baiknya membaca artikel saya sebelumnya: Sains Islam, Adakah? Disitu saya memaparkan kenapa sains yang kita pelajari selama ini cenderung tidak Islami. Artikel di Republika tentang Sains Ateis versus sains Islam memperkuat hal tersebut dengan menyajikan latar belakang sains yang kita pelajari selama ini bersumber pada ilmuwan Barat (Amerika dan Eropa).
Pernah suatu ketika Napoleon Bonaparte bertanya pada Laplace, siapakah Pengarang alam semesta yang ajaib ini. Laplace menjawab, “Saya tidak membutuhkan hipotesis itu.” Bagi Laplace, ada atau tidak ada Tuhan bukanlah hal penting bagi sains sebab dengan mengetahui hukum alam, semua pertanyaan dapat terjawab oleh sains [1]. Meski ada kontroversi, ada yang mengatakan bahwa Napoleon dari Perancis itu Muslim, sedangkan Laplace, dari jawaban tersebut terlihat bahwa dia seorang atheis.
Laplace (kiri) dan Napoleon (kanan)
Jawaban Laplace tersebut juga senada dengan Stephen Hawking, dimana dia mengatakan,
“Their creation does not require the intervention of some supernatural being or god. Rather, these multiple universes arise naturally from physical law.” (Penciptaan tersebut tidak memerlukan intervensi kekuatan supranatural atau Tuhan, alam semesta ini muncul secara alami dari hukum-hukum fisika, The Grand Design (2010)).Implikasi dari pernyataan dua ilmuwan besar tersebut terbawa dalam pelajaran sains yang kita pelajari. Beberapa materi pelajaran IPA di Indonesia, jika dikaji dengan seksama, sebenarnya menyiratkan suatu pandangan hidup ateistik yang bertentangan dengan akidah Islam dan nilai dasar bangsa Indonesia. Misalnya, di dalam Pelajaran Fisika diajarkan hukum kekekalan energi dan materi.
Di dalam hukum ini dinyatakan bahwa energi dan materi merupakan dua hal yang tidak bisa diciptakan ataupun di musnahkan [1]. Padahal satu-satunya yang kekal yang kita percayai sebagai Muslim adalah Allah SWT. Ini merupakan penolakan terhadap adanya Tuhan Pencipta dan Pengatur Alam.
Lalu, bagaimana kita bisa hidup beriringan, di satu sisi mempelajari sains yang ateis (bila tidak bisa dikatakan semua, paling tidak sebagian sains tersebut ateis) dan disisi lain kita mengaku Muslim dan belajar berislam? Pencatuman Al-Quran di buku pelajaran sains dianggap sebagai usaha mencocok-cocokkan ayat dengan penemuan sains. Memang semua tidak bisa asal dicocokkan, namun bila hal tersebut sudah menjadi fakta ilmiah, kenapa sains tidak dikaitkan dengan Quran maupun sunah?
Al-Quran sendiri justru memerintahkan orang-orang beriman untuk memperhatikan alam. Tujuannya tak lain adalah mengenal Tuhannya melalui alam maupun fenomena alam itu sendiri. Sehingga memisahkan sains dengan keyakinan kepada Sang Pencipta perspektif Islam bukan saja tidak tepat karena Quran malah memerintahkan umat Islam untuk memikirkan fenomena alam dan mencari jawabannya.
Kejayaan muslim pada masa lalu juga karena perhatiannya yang besar pada ilmu pengetahuan atau sains. Abu Rayhan al-Biruni, misalnya, ketika menjelaskan mengenai penglihatan di dalam karyanya Al-Jamahir fi Ma’rifat al- Jawahir ( Maktabah Syamilah) yang berisi berbagai teori sains geologi, mengatakan, “Adapun penglihatan kedudukannya mengambil ibrah dari apa yang kita lihat dengan tanda-tanda kebijaksanaan Allah dalam ciptaan-Nya dan sebagai alat untuk meminta petunjuk Allah SWT. Kemudian beliau mengutip surat Fushshilat ayat 53, ‘Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Alquran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?’” [1].
*) Artikel ini merupakan ringkasan dari Republika online,
No comments:
Post a Comment
Your comments here/Silahkan komentar disini...