Baik Roger Bacon maupun kawan sejawatnya yang kemudian, tidak berhak disebut sebagai orang yang telah memperkenalkan metode eksperimen. Roger Bacon tak lebih hanya salah seorang utusan saja dari ilmu pengetahuan dan metode Islam kepada dunia Kristen di Eropa, dan dia pun tak kenal letih mengumumkan, bahwa pengetahuan bahasa dan ilmu pengetahuan Arab bagi mereka yang sezaman adalah satu-satunya jalan ke arah pengetahuan yang sebenarnya. Perdebatan-perdebatan seperti misalnya tentang siapa pencipta pertama metode eksperimen ialah sebagian dari penafsiran yang besar sekali tentang asal-usul peradaban Eropa. Metode eksperimen Islam itu pada masa Bacon secara luas dan bersungguh-sungguh disebarkan ke seluruh Eropa. (The Making of Humanity, page 202)
Budaya Islam melalui semangat Al-Qur’an yang mendasarkan sumber pengetahuan pada tiga sumber, yaitu pengalaman batin, alam, dan sejarah tentu bertentangan dengan semangat filsafat alam Yunani. Hal ini tidak lain karena budaya Islam yang berfokus pada pengalaman konkret (kenyataan) dan menuntut adanya observasi secara langsung terhadap alam guna memahami hakikat alam dan terutama demi memahami sifat ketuhanan. Hal ini juga tidak lepas dari perintah yang ada dalam kitab Al-Qur’an agar memerhatikan pergantian siang-malam, peredaran bulan dan matahari serta peredaran planet karena Tuhan menampakkan tanda-tandanya melalui alam. Walaupun harus diakui bahwa ilmuwan-ilmuwan muslim banyak yang memperoleh wawasan ilmu dari alam pikir Yunani, akan tetapi ilmuwan-ilmuwan muslim menyadari bahwa apabila terus menyandarkan diri pada alam pikiran Yunani yang tida mendasarkan pemikirannya pada kenyataan maka akan terjadi kegagalan yang besar terhadap ilmu pengetahuan. Metode observasi dan eksperiman lahir dalam kebudayaan Islam bukan karena suatu kompromi dengan pemikiran Yunani, tetapi karena ada pergulatan yang lama sekali dengan pemikiran itu. Pengaruh Yunani yang pada umumnya menyukai teori, bukan kenyataan, malah lebih mengaburkan pandangan orang Islam terhadap Al-Qur’an. Maka dengan semangat Al-Qur’an sebagai pedoman, ilmuwan-ilmuwan muslim melakukan revolusi terhadap alam pikiran Yunani, sebuah revolusi ilmiah.
Menurut kebudayaan Islam, ilmu harus dinilai dengan yang sesuatu yang konkret dan terukur, hanya kekuatan intelektual yang menguasai yang konkret-lah yang akan memberi kemungkinan kecerdasan manusia untuk dapat melampaui yang konkret, seperti dalam Al-Qur’an;
يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ تَنْفُذُوا مِنْ أَقْطَارِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ فَانْفُذُوا لَا تَنْفُذُونَ إِلَّا بِسُلْطَانٍ
Wahai masyarakat jin dan manusia, kalau kalian dapat menembus perbatasan-perbatasan langit dan bumi, tembuslah. Tapi hanya dengan kekuasaan sajalah kalian dapat menembusnya. (QS. 55:33)
Referensi:
- Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, Yogyakarta; Jalasutra, 2008.
- Dari Puncak Bagdad; Sejarah Dunia Versi Islam, Jakarta; Penerbit Zaman, 2009.
- Metode ilmiah, orang eropa mempelajarinya dari budaya Islam