Sunday, August 25, 2013

Summer Vacation Part II: Hikone dan Tokyo

Setelah berkelana ke Kyoto - Osaka - Amanohashidate selama tiga hari, pada liburan musim panas 2013 kali ini saya melanjutkan perjalanan ke Tokyo dengan singgah sejenak di kota Hikone, Provinsi Shiga. Awalnya, kami hanya ingin memanfaatkan waktu dengan maksimal. Kereta Moonlight Nagara yang akan membawa kami ke Tokyo baru berangkat jam 22.55 dari stasiun Ogaki, sementara dari Kyoto ke Ogaki hanya membutuhkan 1,5 jam dan saat di stasiun Kyoto waktu masih menunjukkan pukul 17.30. Walhasil, kita masih punya banyak waktu untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Dengan sedikit googling, kita menemukan kota Hikone yang dilewati Kereta dari Kyoto ke Ogaki. Ada Hikone castle yang merupakan satu diantara empat castle yang masuk National Treasure of Japan, serta ada juga Danau Biwa (Biwa-ko) yang merupakan danau terbesar di Jepang.

Hikone

Dari Kyoto, perjalanan menuju Hikone dapat ditempuh dengan kereta JR arah Maibara, berhenti tepat satu stasiun sebelum stasiun Maibara. Keluar dari stasiun Hikone, kami berjalan ke arah barat menuju Hikone castle. Untuk menemukan Hikone castle tidak begitu sulit, apalagi jika ada google maps, tinggal mengikuti panduan yang ada pada peta digital tersebut. Sekitar 500 m berjalan kaki dari pintu keluar stasiun Hikone, kami menemukan kuil dimana banyak lampion di pintu gerbangnya.

Rute dari stasiun Hikone menuju Danau Biwa via Hikone castle
A photo posted by Bagus Tris Atmaja (@bagustris) on

A photo posted by Bagus Tris Atmaja (@bagustris) on

A photo posted by Bagus Tris Atmaja (@bagustris) on
Memasuki kuil ini, ternyata banyak orang yang akan bersembahyang, atau mungkin ada acara lain. Kami hanya berjalan lalu saja melewati kuil ini (karena niatnya memang cuma numpang lewat) dan menyusuri jalan lain ke dalam kompleks Hikone castle. Sesekali kami berhenti, mengambil foto dan melanjutkan perjalanan. Seperti halnya kastil-kastil lain di Jepang, Hikone castle dikelilingi oleh sungai buatan dengan benteng pertahanan. Sekilas kastil ini mirip hutan, namun bila dilihat dari jauh, akan nampak bangunan kastil di bagian atasnya. Sore itu kastil tampaknya telah tutup dan kami melanjutkan perjalanan ke arah danau Biwa yang tak jauh dari kastil. Keluar dari kastil kami kembali berjalan ke arah barat, dan setelah melewati satu lampu merah akhirnya kami sampai di danau Biwa.

A photo posted by Bagus Tris Atmaja (@bagustris) on

Mirip laut, itulah kesan kami ketika sampai di Danau Biwa, antara ujung danau satu dengan lainnya hanya mungkin dicapai dengan kapal ferry yang juga tersedia disitu. Sore itu kami hanya menikmati sunset sejenak, mengambil beberapa foto dan kembali ke stasiun hikone dengan rute yang sama untuk melanjutkan perjalanan ke tokyo via Maibara dan Ogaki.
A photo posted by Bagus Tris Atmaja (@bagustris) on
Dari Hikone ke Maibara (masih dalam provinsi Shiga) hanya berjarak satu stasiun, atau sekitar 5 menit dengan JR Biwako line. Di stasiun Maibara kami langsung berganti dengan kereta ke Ogaki yang sudah masuk dalam provinsi Gifu yang ditempuh dengan 33 menit dengan JR Tokaido Line. Enaknya hidup di Jepang, semuanya serba teratur, termasuk jadwal dan rute kereta api-nya. Untuk berganti kereta tidak butuh waktu lama, sekitar 1-2 menit, karena memang jadwalnya didesain seperti itu. Di stasiun Ogaki, kami berhenti sejenak karena kami punya banyak waktu, lebih dari dua jam, sebelum kereta Moonlight Nagara berangkat jam 22.49 JST. Waktu tersebut kami manfaatkan untuk mencari makan dan sholat. Berjalan agak jauh meninggalkan stasiun, kami malah menemukan burger sayuran persis di depan stasiun, sholat pun kami tunaikan di taman depan stasiun dengan mngambil air wudhu di toilet yang kebetulan berada di luar stasiun (kebanyakan toilet stasiun Jepang berada di dalam setelak masuk peron).

Tepat jam 22.49 JST Kereta Moonlight Nagara yang hanya beroperasi saat liburan ini  berangkat dengan singgah di beberapa stasiun besar seperti Nagoya, Yokohama, Shinagawa dan Tokyo. Karena hanya mendapatkan satu tempat duduk, kami berganti setiap 2,5 jam sekali dari waktu total perjalanan selama hampir 6 jam. Saat yang satu tidur di kursi kereta, yang lain ngemper di gerbong, namun juga harus membayar seat juga, yakni 510 yen. Dari rencana semula berhenti di stasiun utama Tokyo, saya memutuskan untuk berhenti di Shinagawa saja, satu stasiun sebelum Tokyo, dari penelusuran hyperdia, disitu lebih praktis dan lebih cepat untuk sampai ke Ookayama. Dari Shinagawa ke Ookayama transit di stasiun Oimachi, karena tidak ada kereta JR yang melayani rute ke stasiun ke Ookayama. Kami berganti kereta private Tokyu Oimachi line local di Oimachi untuk menuju Ookayama. JR (Japan Railways) adalah perusahaan kereta api nasional milik pemerintah Jepang yang mengoperasikan sebagian besar kereta lokal, rapid, semi-rapid, special rapid, ekspress dan Shinkansen di seluruh Jepang. Namun banyak juga rute yang hanya bisa dijangkau oleh peruhasaan kereta swasta seperti kereta Kintetsu, Meitetsu, Chikatetsu, Tokyu, Tokyo Metro dan lainnya.

Tokyo

TokyoTech, atau Tokyo Institute of Technology, bahasa Jepangnya Tokyo Kogyo Daigaku disingkat Tokodai kampus Meguro terlentak persis depan di stasiun Ookayama. Pagi itu, sekitar jam 6 pagi, kami sudah sampai di stasiun Ookayama. Rasanya terlalu pagi untuk berkunjung ke rumah dosen saya, kami menyempatkan waktu berjalan-jalan di kampus Tokodai untuk menunggu waktu berkunjung yang tepat.


A photo posted by Bagus Tris Atmaja (@bagustris) on

Sekitar jam 7.30 pagi saya berkunjung ke rumah dosen saya yang berada di lingkungan kampus Tokodai Meguro tersebut. Beliau dosen pembimbing saya ketika S1 dan S2 di ITS dulu. Lama kami berbincang, hampir 3 jam-an lebih. Banyak hal yang bisa didiskusikan, tentang bagaimana meningkatkan kualitas akademik di Jurusan TF ITS, tentang aplikasi beasiswa dan kabar beberapa rekan kami yang lain. Beliau dosen saya berpendapat, untuk meningkatkan kualitas akademik di ITS, sebaiknya dikurangi kuantitas mahasiswa dari Jawa Timur, karena ITS berada di Jawa Timur. Orang yang sekolah dari daerah asal, biasanya kurang greget ketika kuliah di ITS, berbeda dengan mereka yang berasal dari Indonesia timur, Sumatera, Jawa Barat dan Jakarta. Dengan lingkungan (daerah asal) yang beraneka ragam, akan semakin tinggi tingkat kompetisi-nya. Begitu argumen beliau. Setelah puas dijamu sarapan, berbagai diskusi dan beristirahat sejenak, kami pamit untuk melanjutkan perjalanan. Tujuan kami adalah Asakusa dan sekitarnya.

Untuk sampai ke Asakusa dari Ookayama tidaklah sulit, bahkan untuk saya yang baru pertama kali naik kereta ke Asakusa (dua kali ke Asakusa sebelumnya diantar teman saya naik mobil). Karena kemudahan rute kerete di Tokyo, mungkin saya lebih hafal jalanan di Tokyo daripada di Jakarta. Tersesat di Tokyo pun saya bisa mudah kembali ke rumah daripada saya tersesat di Jakarta. Dari Ookayama, cukup menuju Meguro, kemudian oper di stasiun Mita, ganti kereta bawah tanah ke Asakusa, semua informasi disediakan lengkap oleh hyperdia berikut jalur dan rute kereta kereta bawah tanah Tokyo.

Di stasiun Mita, kami memilih tiket terusan Toei one-day pass seharga 700 yen yang bisa digunakan berkali-kali untuk naik kerete Toei line, bus lokal dan trem lokal. Satu stasiun sebelum Asakusa, yakni Kuramau, kami harus berganti kereta, dimana jarak antar jalur satu dengan lainnya cukup jauh, sekitar 200 meter. Karena memiliki tiket yang bisa digunakan untuk naik bis, tanpa sengaja kami bisa naik bis ke stasiun Asakusa daripada harus berjalan kaki berpindah kereta lagi.

A photo posted by Bagus Tris Atmaja (@bagustris) on


Di stasiun Asakusa, kami menyimpan barang bawaan kami di loker stasiun. Ongkosnya cukup mahal, sekitar 400 yen (sekitar Rp. 40000) sampai malam hari. Kemudian kami menuju Masjid Asakusa untuk sholat dhuhur dan ashar disana. Jarak dari stasiun Asakusa tidak cukup jauh, sekitar 15 menit jalan kaki atau 6 menit naik bus (berhenti di higashi-asakusa bus stop). Dari Masjid kami kembali ke stasiun Asakusa.

A photo posted by Bagus Tris Atmaja (@bagustris) on

Tokyo tower, itulah tujuan kami selanjutnya. Meskipun kami berdua sudah pernah melihatnya, namun pesona menara tertinggi di Jepang tersebut menggoda kami untuk kembali kesana. Naas, karena bejibunnya orang dan panjangnya antrian, kami tidak jadi naik sampai atas Tokyo tower, hanya melihatnya dari dekat sudah cukup, untuk mengagumi gedung pencakar langit ini (Dalam Islam, sebenarnya tidak boleh untuk mengagumi bangunan tinggi, tapi saya dilupakan setan ketika itu, lihat hadis kedua Arba'in Nawawi tentang tanda-tanda kiamat).

A photo posted by Bagus Tris Atmaja (@bagustris) on

Lepas dari Tokyo tower, kami mencari makan siang, menu kali itu adalah udon dan soba, persis menu makan siang kami di Amanohashidate. Puas mengisi perut yang sebenarnya tak akan pernah puas jika dituruti terus, kami melanjutkan ke target kami selanjutnya, bus air menyusuri sungai sumidagawa Tokyo.

A photo posted by Bagus Tris Atmaja (@bagustris) on

Dengan tarif lebih dari 1200 yen, kami pergi ke pulau buatan Odaiba, dengan satu kali transit kapal di  dermaga Toyosu. Butuh waktu sekitar 50 menit dari Asakusa-Ferry Terminal Toyosu-Odaiba. Odaiba sungguh menakjubkan, kota metropolis mirip di film kartun, dimana banyak gedung pencakar langit, banugnan-bangunan dengan desain unik, dan jalan diatas bangunan. Ada patung liberty, jembatan pelangi (rainbow bridge), serta patung gundam berukuran raksasa di sana. Berlatar matahari terbenam, sungguh pemandangan kota Odaiba saat itu tak kalah fantastis dan memukau dari kartun Jepang sendiri.

Wisata Kuline : Vegetable Ramen

Pulau buatan Odaiba dilengkapi fasilitas yang tak kalah dengan pusat kota Tokyo, termasuk akses kereta yang sebenarnya lebih cepat daripada menggunakan kapal/bus air. Dari Odaiba kami kembali ke Asakusa untuk mengambil barang bawaan yang kami simpan di loker stasiun. Tujuan kami selanjutnya adalah wisata kuliner, mencicipi makanan nomer satu Jepang, Ramen, yang insyaAllah kali ini halal karena semua bahannya terbuat dari sayuran. Dagingnya dibuat sedemikian rupa dari kacang-kacangan sehingga rasa dan bentuknya menyerupai daging sesungguhnya, susu pun dibuat dari kedelai dan tidak ada telor sama sekali. Resto ramen tersebut terletak di dalam stasiun utama Tokyo, tepatnya di Keiyo Street, arah pintu keluar Yaesu South Gate stasiun Tokyo. Nama restonya adalah T's Tan Tan, berada kurang lebih sekitar 50 m setelah masuk Keiyo Street.

A photo posted by Bagus Tris Atmaja (@bagustris) on

A photo posted by Bagus Tris Atmaja (@bagustris) on

Wisata kuliner tersebut menjadi tujuan terakhir perjalanan kami. Dan akhirnya di stasiun Tokyo-lah kami harus berpisah, seorang kawan +Dwi Prananto yang sejak semester pertama di TF ITS menjadi partner saya dalam belajar, lomba dan membuat karya ilmiah, kembali ke Sendai-Tohoku, sedang saya harus balik ke Kameyama-Mie. Kami hampir bebarengan berangkat ke Jepang, dan ini kali keduanya kami bertemu.

Waktu yang ada di stasiun Tokyo saya manfaatkan untuk sholat Maghrib-Isya dan surfing internet memanfaatkan free wifi yang disediakan JR East dan JR Central. Saya mencari tempat yang nyaman untuk menunaikan sholat setelah sebelumnya mengambil wudhu di wastafel toilet stasiun. Keluar dari pintu Yaesu South Gate saya berjalan ke kanan, ke arah bus-bus JR parkir menunggu penumpangnya. Ada bangunan sepi tepat di kanan stasiun yang juga masih bagian dari stasiun. Dari tangga masuk, saya langsung menuju lantai dua, dan tidak ada orang di sana, saya sholat disitu.

Lokasi ketika saya sholat di stasiun Tokyo

Keteledoran saya surfing internet dengan tablet di dalam stasiun menyebabkan saya ketinggalan kereta Moonlight Nagara yang rencananya dengan kereta itu saya kembali ke Kameyama via Nagoya. Dengan waktu yang sudah hampir menunjukkan tengah malam saya harus bertindak cepat, mencari alternatif trasnportasi lain (bus) untuk pulang, menginap di Stasiun, mencari hotel, internet Cafe atau ke Asakusa Masjid lagi. Hal pertama yang saya lakukan adalah mencari tahu apakah masih ada bus JR yang ke Nagoya malam itu. Hasilnya nihil, hanya ada satu kursi untuk keberangkatan esok harinya jam 7 pagi. Saya kembali mencari alternatif lain sambil keluar dari agen bus JR. Namun akhirnya saya putuskan 5 menit setelahnya untuk kembali ke agen bus JR dan mengambil tiket terakhir itu, Alhamdulillah masih ada.

Diburu oleh waktu, saya segera mengecek jadwal kereta ke Asakusa malam itu (lewat hyperdia dengan tablet yang saya tenteng), masih ada dua kereta terakhir daripada saya menggelandang di Stasiun. Dengan bergegas dan kecepatan penuh, saya mengejar salah satu dari dua kereta itu. Alhamdulillah, kereta yang berangkat hampir jam 12 malam terkejar, JR Yamanote line menuju stasiun Kanda untuk oper subwaw (kereta bawah tanah) ke Asakusa. Naasnya lagi di stasiun Kanda, jarak antara jalur gate JR dan subway cukup jauh, sekitar 150 meter berjalan di luar stasiun. Tanpa membuang waktu, saya bertanya ke petugas stasiun daripada harus mencarinya sendiri. Kemudian saya harus bertanya sekali lagi, di gate selanjutnya untuk mencari pintu masuk ke jalur kereta bawah tanah. Alhamdulillah, ada satu kereta terakhir ke Asakusa yang akan berangkat 3-4 menit lagi, saya langsung menuju jalur tersebut.

Setelah menunggu dan akhirnya berada dalam kereta Tokyo Metro Ginza line, saya puas. Malam itu tidak jadi menggelandang di stasiun. Namun ternyata saya harus tersesat dua kali, setelah siangnya kami tersesat saat mencari Masjid Asakusa, malam/dini hari itu saya juga tersesat saat keluar dari stasiun Asakusa menuju Masjid. Beruntung ada Google map, yang memandu saya lagi menemukan masjid Asakusa malam itu. Jam 1.30 JST saya baru sampai di Masjid Asakusa, dan Imam masjid segera menyilahkan saya beristirahat begitu sampai di masjid.

Sekitar jam 4.30 saya terbangun oleh kedatangan seorang jamaah Subuh yang juga orang Indonesia. Memang tujuan saya menginap di Masjid Asakusa adalah agar bisa sholat subuh dengan mudah daripada saya menginap di stasiun atau internet cafe. Selesai subuhan, saya tidur lagi, dan berharap punya banyak waktu mengejar bus JR di depan stasiun Tokyo yang berangkat jam 7.00 tepat.

Nyatanya, saya bangun jam 6.23, hanya punya waktu 30 menit untuk mengejar bus ke Nagoya tersebut. Saya segera mengemasi barang dan bergegas keluar masjid, menyeberang jalan tanpa menghiraukan zebra cross dan lampu yang masih merah. Darurat, karena saat itu bis hijau sudah mendekati bus stop. Berlari ke arah bus stop saya segera masuk bus dan bertanya ke Pak Sopir, kira-kira begini kalau kalau diterjemahkan: Pak Sopir, butuh berapa lama bus ini sampai ke stasiun Tokyo (koko kara Tokyo eki mae nan pun?). Beliau Pak Sopir menjawab, 40 menit. Tidak cukup waktu pikir saya, sambil memutuskan untuk mem-bypass rute ke stasiun Tokyo dengan berhenti di stasiun Asakusa dan beralih dengan kereta bawah tanah dilanjutkan JR Yamanote Line menuju stasiun Tokyo. Dari hyperdia, ada kereta Ginza line jam 6.35 menuju stasiun Ueno, sampai di Ueno jam 6.40, kemudian oper JR Yamanote line jam 6.46 dan sampai di stasiun Tokyo jam 6.53. Saya kira masih bisa terkejar. Saya segera menuju Tokyo Metro Ginza line di stasiun Asakusa, membeli tiket dengan harga yang saya perkirakan sendiri (160 yen) karena toei free pass hari sebelumnya sudah tidak berlaku, dan kemudian menunggu kereta datang. Mulai memahami alur transportasi kereta di Tokyo membuat saya agak cepat beradaptasi ketika harus berpindah kereta dari subway ke JR, jalur Yamanote line yang juga agak familiar dengan mudah dicapai dan kereta tersebut akhirnya membawa saya sampai di stasiun Tokyo tepat jam 6.53.

Berbekal tiket 18kippu untuk JR, saya dengan leluasa bisa keluar-masuk stasiun JR. Segera saja saat tiba di JR Tokyo saya menujukkan 18kippu saya yang sudah masuk hari terakhir masa berlakunya, yakni hari kelima dan kemudian berhambur keluar dengan penumpang lainnya lewat Yaeso South Gate yang malam sebelumnya sudah saya lewati berkali-kali. Di jalur parkir bus nomer 1, masih terlihat sedikit antrian penumpang yang akan naik JR bus ke Nagoya. Saat masuk ke dalam bis (jam 6.58), sopir dan penumpang lainpun tampaknya tidak menyadari bahwa bahwa saya sangat tergesa-gesa mengejar bus tersebut. Tepat jam 7.00 JST JR bus dengan tujuan Nagoya tersebut berangkat. Alhamdulillah.

A photo posted by Bagus Tris Atmaja (@bagustris) on
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...