Friday, December 29, 2023

Mencoba Obsidian: note-taking app yang super powerful

Dulu saya pernah bertanya-tanya, adakah platform atau aplikasi note-taking yang sederhana, aplikasi tersebut hanya bersifat aplikasi (seperti word processor) namun filenya disimpan dalam file teks sederhana seperti text (TXT) dan markdown (MD)? Bukan menyatu dengan aplikasi seperti Google Keep atau Evernote (bukan app-over-file tapi file-over-app). Ternyata ada, dan saya pernah mencobanya. Dulu saya saya tidak melanjutkan mencobanya karena apa yang saya cari tersebut tidak ketemu, ternyata memang ada. Ketidaktahuan saya memblokade penggunaan aplikasi tersebut waktu itu. Aplikasi itu adalah Obsidian.

Setelah menggunakan evernote, kemudian pindah ke Google Keep, dan Simplenote, ada beberapa perubahan mendasar yang saya alami. Versi free dari evernote memiliki kemampuan terbatas. Google Keep kemudian mematikan versi luring (offline) sehingga saya tidak bisa melihat catatan saya lewat PC ketika tidak bisa konek internet. Simplenote menjadi second brain bagi saya, namun, ketika catatan saya bertambah banyak dan saya menginginkan catatan terstruktur (linked-notes, notes in note), simplenote menjadi terbatas. Saya pernah mencoba Obsidian sekitar beberapa tahun yang lalu, namun apa yang saya cari (sync dan structured notes) tidak saya temukan karena ketidaktahuan saya.

 

Organisasi Obsidian (vaults)

1. Diary -- untuk catatan harian

2. Fiksi -- untuk mencatat kisah fiksi, seperti draft cerpen atau novel

3. Non-fiksi -- untuk catatan non-fiksi

4. Google keep -- archive dari Google Keep yang saya export ke Obsidian

5. Pengajian -- catatan pengajian dll., ada plugin Quran juga.


Demikian, Obsidian telah menjadi otak keempat saya setelah simplenote dan Standard Notes.


Obsidian di Ubuntu 20.04
Obsidian di Ubuntu 20.04


Thursday, December 28, 2023

Blog baru di Listed

 Akhirnya, ada platform offline dan online dalam satu portal. Dan platform itu ternyata sudah ada sejak lama. Namanya Standard Notes. Bisa diinstal via snap dengan perintah berikut di Ubuntu.

sudo snap install standard-notes
  

Saya suka menulis blog, baik itu di blogger, wordpress, medium, atau tumblr. Masalahnya, sejauh pengetahuan saya saat itu, belum ada platform digital yang bisa berlaku baik untuk offline dan online. Misalnya, saat saya punya ide, saya menuliskannya di editor, word processor, atau note taking app. Kemudian saat saya ingin mempublikasikannya, saya salin tulisan offline tadi ke platform blog yang bersangkutan, misalnya Blogger. Sampai saya menemukan platform/aplikasi Standard Notes yang menyatu dengan listed.to.

Blog baru saya di Listed beralamat di https://listed.to/@bagus.

Dengan platfom ini saya bisa menulis blog on-the-go secara luring, kemudian mempublikasikannya dari perangkat tersebut tanpa harus menyalin dan menempelnya ke internet. Cukup sekali-dua kali klik. Bagi anda yang belum tahu caranya, berikut cara publikasi blog lewat Standard Notes and Listed (www.listed.to).

1. Buka Stantard Notes app atau web app
2. Klik ikon Preferences in sisi kanan bawah
3. Buka seksi Listed
4. Pilih Create New Author

Untuk publikasi dari Standard Notes ke Listed (lihat gambar di bawah).
1. Klik kanan judul note yang akan dipublish
2. Pilih "Listed action" kemudian pilih "Publih to Blog"

Voilla, sekarang catatan datam Standard Notes tersebut telah terpublish dalam Listed.to.

Karena kemudahan itu, besar kemungkinan saya akan mengeblog di Listed. Blog di blogspot ini mungkin akan dormant, wallahua'lam. Saya belum tahu pastinya, mungkin topik-topik professional akan saya taruh disini, catatan harian di Listed, dan quotes di Tumblr.

Dengan demikian, Standard Noted menjadi otak ketiga saya setelah simplenote.

Friday, December 22, 2023

Tentang Gift dan Ghost Authorship

If research misconduct occurs, including guest/gift authorship, the integrity of a researchers is questionable; this can PERMANENTLY and NEGATIVELY affect their career.

 

ghost authorsip

Salah salah praktek tercela di bidang akademik adalah ghost dan gift authorship, menuliskan nama mereka yang tidak berkontribusi di dalam penulisan paper. Penerbit seperti Elsevier dan Springer memiliki peraturan ketat dalam kasus ini, sekali praktek ini ditemukan, karya yang bersangkutan bisa  ditarik. Saya sendiri sudah beberapa kali melaporkan kasus ini, tak peduli rekan sejawat, atasan, atau orang lain. Ada kalanya, mungkin, anda "dipaksa" menuliskan nama teman anda, baik kenalan, teman se-lab, se-kampus, atau se-jurusan. Untuk dimasukkan menjadi penulis (authors), setidaknya ada tiga syarat [1]:
1. Kontribusi subtansial dalam riset
2. Ikut menulis draft
3. Menyetujui versi final dari draft

Cara mengetes ghost author, menurut elsevier, adalah bahwa semua penulis mempunyai kemampuan dan kewajiban yang sama dalam mempertahankan ide di dalam tulisannya. Oleh karena itu, jika ada seorang penulis (co-authors) yang tidak bisa menjelaskan atau menjawab pertanyaan terkait tulisannya, bisa jadi penulis itu adalah ghost, guest atau gift author.

Compliance is more than just obeying laws.

Dalam publikasi ilmiah, kita memiliki code of conduct. Dalam setiap submisi artikel, kita diwajibkan menuliskan kontribusi setiap penulis dalam artikel. Secara common sense, setiap mereka yang namanya ada pada paper pasti berkontribusi. Hukum penulisan ini wajib kita patuhi. Bahkan diatasnya, ada etika yang seharusnya kita taati juga: menghindari research misconduct termasuk gift, ghost atau honorary authorship ini.

Jika ada orang lain yang meminta namanya ditulis dalam sebuah paper, sebaliknya ada juga orang yang melarang namanya ditulis dalam sebuah paper. Seorang teman S3 pernah bercerita bahwa professornya, meminta namanya tidak dimasukkan dalam publikasi teman saya tersebut karena dia tidak berkontribusi sama sekali.


Institusi kita punya visi dan misi mulia yang ingin diraih. Kita tidak bisa menghalalkan segala cara untuk meraih visi dan misi itu. You CANNOT choose just any method to achieve your goal. There is a "path we should take" among them. Goal adalah visi institusi kita yang ingin kita capai. Jelas disini bahwa ghost dan gift authorship tidak termasuk dalam "path we should take".
 
Rezeki tidak hanya dari insentif publikasi. Masih banyak jalan dan pintu rezeki berkah dan halal lainnya daripada memasukkan nama istri, teman, atau atasan yang tidak berkontribusi pada publikasi ilmiah kita. Praktek tercela ini membahayakan insitusi kita. Semoga kita terhindar dari praktek tercela ini.

Ghost authorship untuk memperbesar peluang diterimanya paper

Ini disebut efek Chaporone [3]. Penulis Chaperone adalah penulis senior yang telah menulis beberapa journal, katakanlah di jurnal A. Untuk memperbesar kans diterima di journal A, penulis junior mengajak atau memasukkan nama penulis Chaperone saat submisi ke Jurnal A. Tujuannya adalah untuk mempertinggi kans diterima di jurnal A.

Ada kasus dimana peneliti yang sudah meninggal tetap dilibatkan dalam pembuatan paper. Kasus ini [2], ditengarai untuk memperbesar kans diterimanya paper tersebut di sebuah jurnal. Anggaplah peneliti yg sudah meninggal tsb adalah peneliti terkenal, misal peraih nobel. Dengan memasukkan namanya sebagai co-author maka kans diterimanya sebuah paper dalam jurnal mungkin akan bertambah besar. Hal yang tidak mungkin dilakukan oleh peneliti yang sudah meninggal adalah pada persyaratan nomor 3 authorship di atas: menyetujui versi final. Pun demikian, hal ini (memasukkan penulis yang sudah meninggal) bisa saja dilakukan bila penulis yang telah meninggal tersebut benar-benar berkontribusi dan disebutkan dalam "Aknowledgement" bahwa salah satu penulis telah meninggal sebelum paper diterbitkan.

Kenapa ada praktek Ghost Authorship, khususnya di negeri kita?

Seorang sejawat bertanya, kenapa kondisi ideal (tidak ada ghost authorship) tidak bisa diterapkan di, khususnya, negeri kita tercinta. Banyak faktor. Diantara banyak faktor, menurut saya yang paling penting adalah mental peneliti dan kecukupan ekonominya. Di negeri kita, mental peneliti belum terbentuk secara ideal. Alih-alih melakukan "impactful research"; yang dilakukan peneliti adalah bagaimana mendapatkan cuan dari penelitian, entah itu dari insentif, kenaikan pangkat, dll. Disini mental peneliti yang bersangkutan bermasalah. Bisa jadi karena tidak ada pendidikan "Compliance and Researcher Ethics" untuk para peneliti (di institusi saya, setiap peneliti diwajibkan mengambil e-learning ini setiap tahunnya dan wajib lulus ujian e-learning tsb). Kondisi ini diperparah dengan kecukupan ekonomi peneliti yang bersangkutan. Selama kebutuhan dasar belum terpenuhi (sandang, pangan, papan), maka dia akan mencari segala cara (dan mungkin saja menghalalkan segala cara) untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Salah satunya dengan meminta rekannya untuk memasukkan namanya saat publikasi. Agar, ketika mendapat insentif, dia juga ikut kecipratan. Sekaligus mempercepat proses kenaikan pangkat.


Lalu, Bagaimana solusinya?

Alih-alih menuliskan teman atau orang lain sebagai ghost authorship, kita bisa menawari mereka untuk berkontribusi, misalnya:

  • Funding, membiayai biaya publikasi
  • Proof-read, misalnya menemukan minimal 10 kesalahan dalam draft dan merevisinya

Dengan cara itu, seorang menjadi layak menjadi co-author. Dengan catatan, sekali lagi, kontribusinya substansial (dua diatas adalah contoh kotribusi yang substansial).

 

Referensi: 

[1] https://www.jscpt.jp/eng/journal/kitei.html

[2] https://retractionwatch.com/2024/02/16/highly-cited-scientist-published-dozens-of-papers-after-his-death/

[3] V. Sekara, P. Deville, S. E. Ahnert, A. L. Barabási, R. Sinatra, and S. Lehmann, “The chaperone effect in scientific publishing,” Proc. Natl. Acad. Sci. U. S. A., vol. 115, no. 50, pp. 12603–12607, 2018, doi: 10.1073/pnas.1800471115.

 

Friday, October 27, 2023

Kapan mendengarkan apa kata orang (dan kapan tidak)

tl;dr: Kadang kita seharusnya mendengarkan kata orang, kadang kita seharusnya tidak mendengarkan kata orang

Kapan seharusnya tidak mendengarkan kata orang

Ada dua kisah diantara banyak kisah. Kisahnya Abu Thalib dan seorang yang menaiki keledainya bersama ayahnya. Abu Thalib ingin mengikuti agama nabi Muhammad diakhir hayatnya namun tidak jadi karena mendengarkan apa kata orang. 

Menjelang wafatnya, Nabi mengajak kembali pamannya Abu Thalib untuk bersyahadat, namun Abu Thalib menjawab, "Seandainya kaum Quraisy tidak mencelaku dengan berkata, 'Tidak ada yang mendorongnya mengucapkannya kecuali karena kesedihannya menghadapi maut,' niscaya aku mengucapkannya untukmu." 

Dari sini terlihat bahwa Abu Thalib lebih memilih apa kata orang daripada mengikuti ajakan nabi Muhammad. Abu Thalib tidak ingin dianggap oleh kaum Quraisy bahwa dirinya takut menghadapi kematian sehingga mengubah agamanya.

Cerita kedua adalah kisah masyhur tentang anak, bapak, dan keledai mereka. Suatu hari ada anak dan bapak yang akan melakukan perjalanan. Mereka adalah  2 orang yang tanggung. Si anak belum dewasa, ia masih remaja yang beranjak. Sedangkan si bapak adalah seorang yang sudah tidak muda lagi, namun belum terlalu tua. Mereka melakukan perjalanan menuju pasar menggunakan keledai tua, namun tubuhnya masih kuat. Hanya saja memang tubuh keledai umumnya berukuran kecil. 

Berangkatlah mereka. Si bapak menunggangi kuda, sedangkan anaknya jalan kaki. Di kampung pertama, mereka disoraki oleh wanita. "Kok, kamu yang naik, sedangkan anakmu yang kecil itu kelelahan berjalan dibelakang?" 

Mendengar itu si Bapak pun turun dari keledai dan menyuruh anaknya  untuk naik keledai. Kemudian tak berapa lama, mereka melewati segerombolan orang tua sedang duduk dibawah pohon. Mereka berkata "Mengapa kamu berjalan kaki, kamu kan sudah tua, sedangkan anakmu yang masih muda. Harusnya anakmulah yang jalan, dan engkaulah yang menunggangi kuda? Si anak pun kemudian turun.

Kemudian di desa lain mereka pun mendapat komentar lagi dari seorang pria berbadan tegap yang terluhat gagah. "Kok cuma satu orang yang naik keledai, kenapa enggak berdua ?". Mendengar itu merekapun menaiki keledai itu bersama-sama. Dua orang naik seekor keledai.

Mereka melintai kampung berikutnya. Tetapi, ditengah perjalanan, mereka melewati sekelompok orang pecinta binatang. Melihat pemandangan itu, para pecinta binatang ini berkomentar "Kasihanilah binatang yang kurus kering itu. Kalian berdua menungganginya, padahal kalian lebih berat dari pada keledai ini."

Mendengar itu, bapak dan anak ini lantas turun dari keledai. "Kalau begitu, mari kita berjalan bersama-sama dan kita biarkan keledai ini berjalan di hadapan kita." Kata si Bapak.

Tak habis sampai disitu mereka masih mendapat komentar lagi. Mereka bertemu orang yang sedang mabuk dan berkata.  "Yang pantas itu keledai yang menaiki kalian berdua, sehingga kalian dapat membuatnya terhindar dari kendala-kendala di jalan". Sang bapak yang terpengaruh omongan pun lansgung mengendong si keledai.

Namun di depan, mereka lagi lagi ditertawakan oleh orang-orang asbab pemandangan aneh itu. Kemudian si bapak  berhenti dan menoleh kepada anaknya sambil berkata, "Wahai anakku, jika mendengar dan mengikuti semua omongan manusia. Tidak akan ada habis - habisnya." Dan mereka berdua pun tertawa. [1]

Dari kisah ini kita mendapat pelajaran bahwa tidak perlu mendengarkan kata orang, selama apa yang kita lakukan itu baik.

Kapan seharusnya mendengarkan apa kata orang

Ada dua kisah juga. Kisah pertama saat sahabat menawarkan untuk membunuh munafiq di Madinah dan Nabi tidak mengiyakannya karena takut apa kata orang. Kedua, kisah saat nabi berjalan berdua bersama istrinya di malam hari dan sahabat menghindar.

Kisah pertama adalah seperti ini.

Setelah Rasulullah selesai menghadapi perang dengan Banu Mustaliq, ada dua orang dari kalangan Muslimin yang bertengkar memperebutkan mata air; yang seorang dari kalangan Muhajirin dan yang seorang lagi dari Anshar. Mereka yang dari Muhajirin berteriak: “Saudara-saudara Muhajirin!” Dibalas oleh Anshar: “Saudara-saudara Anshar!” Pada waktu itulah Abdullah bin Ubay bin Salul, pemimpin kaum munafik di Madinah berkata kepada orang-orang di sekitarnya: "Di kota kita ini sudah banyak kaum Muhajirin. Penggabungan kita dengan mereka akan seperti kata peribahasa: 'Seperti membesarkan anak harimau.' Sungguh, kalau kita sudah kembali ke Madinah, orang yang berkuasa akan mengusir orang yang lebih hina."  

Muhammad Husain Haekal dalam "Umar bin Khattab" menceritakan bahwa kata-kata Abdullah bin Ubai itu oleh sahabat disampaikan kepada Rasulullah, yang ketika itu ada Sayidina Umar bin Khattab. Umar naik pitam mendengar laporan itu dan katanya: “Rasulullah, perintahkan kepada Abbad bin Bisyir supaya membunuhnya.” Tetapi Rasulullah menjawab: “Umar, bagaimana kalau sampai menjadi pembicaraan orang, bahwa Muhammad membunuh sahabat-sahabatnya sendiri. Lalu ia meminta diumumkan supaya kaum Muslimin segera berangkat pada waktu yang tidak biasa mereka lakukan.” [2]

Jadi nabi tidak membunuh Ubay bin Salul karena takut apa kata orang.

Kisah terakhir adalah ketika Nabi berjalan bersama istrinya pada malam hari yang gelap.  Hadistnya sebagai berikut: "Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah beriktikaf di masjid, lantas aku (shafiyah) mengunjungi beliau pada malam hari lalu berbincang-bincang dengan beliau, lalu aku berdiri. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengantarkanku pulang ke rumah.” 

Rumah Shafiyyah Ketika itu di rumah Usamah bin Yazid. Ketika mengantarkan pulang, lewatlah dua orang Anshar di jalan. Dua orang Anshar itu memandang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (dengan penuh curiga), kemudian mereka bergegas melewati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Tak perlu curiga seperti itu, ini adalah istriku Shafiyyah binti Huyay.” Mereka berdua pun mengatakan, “Subhanallah, wahai Rasulullah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Sesungguhnya setan mengalir dalam diri manusia melalui pembuluh darahnya. Aku benar-benar khawatir ada sesuatu prasangka jelek yang ada dalam diri kalian berdua" [3].

Dari cerita di atas, filter sederhana untuk kapan mendengarkan apa kata orang adalah dengan melihat dampak/akibat yang kita terima dari mendengarkan atau tidak mendengarkan kata orang tersebut. Jika terjadi dampak besar (fitnah, masuk neraka, dll) maka kita perlu mengambil mana yang bisa menghindari dampak buruk tersebut. Misal dalam kasus Abu Thalib dan kisah bapak, anak, dan keledai, sudah seharusnya mereka tidak mendengarkan apa kata orang. Sebaliknya, bila dampaknya besar, kita mungkin perlu mendengar apa kata orang.

Referensi:

[1] https://www.kisahweb.com/2021/03/ini-5-hikmah-dari-cerita-kisah-bapak.html

[2] https://kalam.sindonews.com/read/67896/70/tatkala-umar-marah-dan-berniat-membunuh-dedengkot-munafik-ibnu-ubay-1591963573?showpage=all

[3] https://rumaysho.com/25497-40-kiat-agar-tidak-diganggu-setan-lakukanlah-amalan-amalan-ini.html

Monday, September 11, 2023

Changing Background of MOC Player to Transparent

The default background of MOC player (mocp) is ugly, see figure below. To change the default background of mocp, we can  do two steps below.

Step 1: Add theme to MOC configuration file in ~/.moc/config

XTermTheme = transparent-background
Step 2: Change file permission (to not allow other tha n user, group, to write)
$ chmod g-w ~/.moc/config/
That command will remove the permission of group (g) to write (-w).
List of available (default) themes:
  • black_theme
  • green_theme
  • red_theme
  • darkdot_theme
  • moca_theme
  • transparent-background
  • example_theme
  • nightly_theme
  • yellow_red_theme

The figures below show the change of theme from default to transparent-background.

Before

MOC Player default theme
After (with Terminal's Solarized theme)
MOC Player transparent theme

Friday, August 25, 2023

Mencoba TTS Bahasa Indonesia dengan VITs dan Meta MMS

Sudah lama saya ingin mencoba (membuat) teknologi text-to-speech (TTS) atau speech synthesis bahasa Indonesia. Percobaan pertama saya beberapa tahun lalu gagal. Disini reponya: Expressive-FastSpeech2. Pada percobaan tersebut, saya langsung mencoba membuat suara (bukan Bahasa Indonesia) yang memiliki emosi, seperti suara orang marah, sedih, atau senang. Alih-alih suara, saya hanya mendengar derau/bising saja dari algoritma FastSpeech2.

Ketika Meta/Facebook mengumumkan salah satu riset mereka, yakni MMS (Massively Multilingual Speech), saya langsung tertarik mencobanya. MMS bisa diaplikasikan untuk ASR (automatic speech recognition, atau STT, speech-to-text) dan TTS. Untuk TTS, sepemahaman saya, Meta hanya mengaplikasikan dataset yang besar pada Variational Inference with adversarial learning for end-to-end Text-to-Speech (VITS). Saya coba ASRnya tidak lebih baik dari OpenAI Whisper, khususnya dari sisi latency. Saya coba TTSnya, kebetulan hasilnya memuaskan, khususnya untuk yang belum pernah berhasil membuat TTS sendiri.

Repository

Untuk keperluan TTS ini, saya buat repository khusus di Github: TTS-Bahasa. TTS-Bahasa sebenarnya tidak khusus untuk bahasa Indonesia, tapi semua bahasa yang didukung oleh MMS (ada lebih dari 1000 bahasa). Repo tersebut saya adaptasi dari tutorial di laman MMS, yakni tutorial Google Colabnya. Saya hanya menambahkan satu skrip python CLI (command line interface) untuk memudahkan pembuatan audio file suara sintesis berdasarkan input kalimat. Contohnya seperti ini.

python3 mms_tts_ind.py --text "Selamat datang di Indonesia"
Suara berbahasa Indonesia akan diperdengarkan setelah eksekusi program selesai (berbunyi: "Selamat datang di Indonesia"). Luaran suara tersebut juga bisa disimpan dalam format WAV atau MP3, misalnya.
python3 mms_tts_ind.py --text "Selamat datang di Indonesia" -s -o selamat_datang.wav 
Untuk mencobanya, tidak perlu menginstall. Cukup clone repo tersebut, dan ikuti petunjuk di READMEnya. Jika ada kendala, anda bisa membuka "issues" di repo tersebut.

Demo

Jika anda bukan programmer, coder, researcher, mahasiswa teknik, atau tidak terbiasa dengan Python, anda bisa langsung mencoba demo-nya disini: https://bagustris.github.io/tts-bahasa/.

Tuesday, August 08, 2023

Menginstall ESPNET via Conda

Tulisan berikut merupakan catatan singkat instalasi ESPNET dengan Conda (OS: Ubuntu 20.04~).

Dari dokumentasi ESPNET, cara yang disarankan untuk menginsall ESPNET adalah melalui Conda.

./setup_anaconda.sh miniconda espnet 3.8
Namun dengan cara ini, environment conda menjadi tidak bernama sehingga kita perlu me-load conda dengan fullpath. Solusinya adalah dengan memberikan argumen yang tepat untuk `setup_anaconda.sh`, yakni $CONDA_ROOT. Pada Ubuntu, default CONDA_ROOT ada di `/home/$USER/miniconda3` (Setelah menginstall miniconda). Contohnya adalah sebagai berikut.
./setup_anaconda.sh /home/bagus/miniconda3/ espnet 3.9

Dengan cara ini kita bisa berpindah ke perintah instalasi selanjutnya, yakni `make`. Setelah terinstall, kita bisa mengaktifkan ESPNET dengan `conda activate espnet`. 

 

Catatan:

- Sebelum menginstall ESPNET, kita perlu menginstall cmake, python3-dev, sox, flac, dan build-essential via apt-get.

Saturday, August 05, 2023

Melanggan Medium

Minggu ini saya memutuskan untuk melanggan Medium. Biaya langganannya 5 USD/bulan. Medium, bagi yang belum tahu, adalah platform penerbitan daring yang menyediakan ruang bagi penulis dari berbagai bidang untuk berbagi pandangan, pengetahuan, cerita, dan pengalaman mereka. Saya tertarik dengan Medium karena menawarkan beragam konten menarik, dari esai inspiratif hingga artikel informatif yang membahas berbagai topik. 

Ada beberapa alasan kuat mengapa saya memutuskan untuk melanggan Medium untuk setahun kedepan: 

  • Beberapa konten dengan kualitas tinggi hanya bisa diakses dengan melanggan.  Medium menempatkan kualitas konten di atas hal lain; banyak penulisnya adalah penulis buku. Mereka menggali topik dengan mendalam dan menawarkan sudut pandang yang unik, membuat saya selalu terinspirasi dan berpikir lebih jauh. 
  • Bisa dibayar dari program partner. Agar mendapatkan bayaran dari artikel yang kita tulis, kita harus menjadi pelanggan melalui Medium Partner Program.
  • Beragam Topik yang Menarik: Medium menawarkan berbagai macam topik yang bisa dipilih sesuai minat dan hobi saya. Entah itu teknologi, pengembangan diri, psikologi, budaya, atau bisnis, saya selalu menemukan konten yang relevan dan bermanfaat bagi pengetahuan saya. 
  • Komunitas dan Interaksi: Medium juga memiliki komunitas yang aktif dan ramah. Saya senang membaca komentar dan tanggapan dari pembaca lain yang menambah wawasan saya tentang suatu topik. Selain itu, Medium memiliki fitur "clap" yang memungkinkan saya untuk memberikan apresiasi atas tulisan yang saya nikmati. 
  • Memotivasi untuk menulis lebih. Saya pernah menulis untuk menulis satu artikel per minggu (https://bagustris.blogspot.com/2020/03/new-article-every-weekend.html). Namun, hal ini sangat sulit ternyata! Dengan medium, saya berharap target ini bisa tercapai (logika: karena berbayar saya harus menulis, tidak saja membacanya).

Saya akan lihat (evaluasi) setahun mendatang apakah Medium ini memberikan benefit yang lebih dari 5 USD/per bulan. Harapan saya untuk setahun mendatang adalah: 

  1. Lebih Banyak Artikel saya yang Menarik: Saya berharap untuk menemukan lebih banyak artikel yang mendalam dan berbobot di Medium. Semakin banyak penulis berbakat yang bergabung dan berkontribusi, semakin kaya pula konten yang akan tersedia bagi para pembaca. 
  2. Pengembangan Diri sebagai Penulis (baik dari sisi kuantitas dan kualitas): Dengan membaca dan belajar dari penulis-penulis hebat di Medium, saya berharap untuk terus mengembangkan kemampuan menulis saya sendiri. Saya ingin mengasah kemampuan untuk menyajikan informasi dengan cara yang menarik dan dapat dipahami oleh pembaca. 
  3. Berbagi Kontribusi yang berdampak: Saya bermimpi suatu hari nanti bisa berkontribusi dengan menulis artikel berdampak tinggi di Medium. Bagaimana mengukur dampaknya? Medium menyediakan statistik siapa yang hanya melihat artikel kita dan siapa yang benar-benar membaca artikel kita. Metrik kedua ini yang saya kejar.
  4. Menjalin Lebih Banyak Koneksi: Medium adalah tempat yang tepat untuk menjalin hubungan dan koneksi dengan penulis dan pembaca dari seluruh dunia. Saya berharap bisa berinteraksi lebih banyak dengan mereka, berdiskusi, dan berbagi inspirasi. 

Demikianlah cerita mengapa saya memilih untuk melanggan Medium.com dan harapan saya untuk tahun mendatang.Selanjutnya, tulisan-tulisan dalam bahasa Indonesia akan saya tulis di Blogger ini sedangkan artikel bahasa Inggris akan saya tulis di akun Medium saya.

Evaluasi 2024:  

Setelah satu tahun melanggan Medium, saya putuskan berhenti. Selama setahun saya hanya mempublikasikan enam artikel atau rata-rata hanya satu artikel per dua bulan. Dengan membayarpun  (dan kemungkinan dapat bayaran juga), belum bisa memotivasi saya untuk lebih masif menulis di Medium. Ada banyak alasan; mungkin saya lebih terbiasa dan nyaman di Blogger ini daripada di sana.

Tuesday, July 25, 2023

Live microphone visualization (waveform) with sounddevice

 *** This post was made by ChatGPT***


Are you interested in visualizing live audio data from your microphone? Do you want to see the waveform of your voice or any other sound in real time? In this blog post, we’ll explore a Python script that utilizes Matplotlib to plot live microphone signals. This script is a useful tool for understanding and analyzing audio input in real time.

Before we begin, make sure you have sounddevice, Matplotlib, and NumPy installed. If not, you can install them using the following command:

pip install matplotlib numpy sounddevice

Now, let’s dive into the code and see how it works.

The Code

#!/usr/bin/env python3
"""Plot the live microphone signal(s) with matplotlib.

Matplotlib and NumPy have to be installed.

"""
import argparse
import queue
import sys

from matplotlib.animation import FuncAnimation
import matplotlib.pyplot as plt
import numpy as np
import sounddevice as sd

The script starts with the usual shebang (#!/usr/bin/env python3) and a brief docstring explaining the purpose of the code. It also imports the necessary modules: argparse, queue, sys, FuncAnimation from matplotlib.animation, plt (alias for matplotlib.pyplot), numpy, and sounddevice.

Next, the code defines two helper functions and two main functions.

def int_or_str(text):
    """Helper function for argument parsing."""
    try:
        return int(text)
    except ValueError:
        return text


def audio_callback(indata, frames, time, status):
    """This is called (from a separate thread) for each audio block."""
    if status:
        print(status, file=sys.stderr)
    # Fancy indexing with mapping creates a (necessary!) copy:
    q.put(indata[::args.downsample, mapping])

The int_or_str function is a helper used for parsing command-line arguments. It tries to convert the input text to an integer and returns it if successful; otherwise, it returns the input text as it is.

The audio_callback function is called for each audio block received from the microphone. It receives indata (the audio data), frames (the number of frames), time (the timestamp of the audio data), and status (the status of the audio stream). It prints any status messages to the standard error and puts a copy of the audio data (filtered using downsampling and channel mapping) into a queue (q) for processing later.

def update_plot(frame):
    """This is called by matplotlib for each plot update.

    Typically, audio callbacks happen more frequently than plot updates,
    therefore the queue tends to contain multiple blocks of audio data.

    """
    global plotdata
    while True:
        try:
            data = q.get_nowait()
        except queue.Empty:
            break
        shift = len(data)
        plotdata = np.roll(plotdata, -shift, axis=0)
        plotdata[-shift:, :] = data
    for column, line in enumerate(lines):
        line.set_ydata(plotdata[:, column])
    return lines

The update_plot function is called by Matplotlib for each plot update. It retrieves audio data from the queue (q) and shifts the existing data to accommodate the new audio block. The function then updates the y-data of the lines on the plot with the new audio data.

if __name__ == "__main__":
    # ... (continued in the next code block)

The script uses the standard Python if __name__ == "__main__": guard to ensure that the following code is only executed when the script is run directly, not when it’s imported as a module.

    parser = argparse.ArgumentParser(add_help=False)
    parser.add_argument(
        '-l', '--list-devices', action='store_true',
        help='show list of audio devices and exit')
    args, remaining = parser.parse_known_args()
    if args.list_devices:
        print(sd.query_devices())
        parser.exit(0)

The code sets up an argument parser with argparse to handle command-line arguments. It allows the user to list available audio devices and exit the program without running the main functionality. If the user specifies the --list-devices flag, the script will print a list of audio devices using sd.query_devices() and then exit.

    parser = argparse.ArgumentParser(
        description=__doc__,
        formatter_class=argparse.RawDescriptionHelpFormatter,
        parents=[parser])
    parser.add_argument(
        'channels', type=int, default=[1], nargs='*', metavar='CHANNEL',
        help='input channels to plot (default: the first)')
    parser.add_argument(
        '-d', '--device', type=int_or_str,
        help='input device (numeric ID or substring)')
    parser.add_argument(
        '-w', '--window', type=float, default=200, metavar='DURATION',
        help='visible time slot (default: %(default)s ms)')
    parser.add_argument(
        '-i', '--interval', type=float, default=30,
        help='minimum time between plot updates (default: %(default)s ms)')
    parser.add_argument(
        '-b', '--blocksize', type=int, help='block size (in samples)')
    parser.add_argument(
        '-sr', '--samplerate', type=float, default=16000, help='sampling rate of audio device')
    parser.add_argument(
        '-n', '--downsample', type=int, default=1, metavar='N',
        help='No downsample (default: %(default)s)')
    args = parser.parse_args(remaining)

The script creates another argument parser, this time with a description based on the script’s docstring. It defines several command-line arguments:

  • channels: The channels to plot. If not specified, it will default to the first channel.
  • device: The input audio device to use. It can be specified either by a numeric ID or a substring of the device name.
  • window: The visible time slot in milliseconds. This controls how much of the audio history is displayed on the plot.
  • interval: The minimum time between plot updates in milliseconds.
  • blocksize: The block size (number of samples) for audio processing. If not specified, the default block size of the audio stream will be used.
  • samplerate: The sampling rate of the audio device. If not specified, it will default to 16000 Hz.
  • downsample: The factor by which the audio data is downsampled. By default, no downsampling is applied.

The parse_args method is called to parse the remaining command-line arguments (remaining) after handling the --list-devices option.

    if any(c < 1 for c in args.channels):
        parser.error('argument CHANNEL: must be >= 1')
    mapping = [c - 1 for c in args.channels]  # Channel numbers start with 1
    q = queue.Queue()

The code checks if any of the specified channels are less than 1. If so, it raises an error with an appropriate message. It then creates a mapping list for the channel indices, as the channel numbers in args.channels start from 1.

Full code is listed below. Actually, it is based on an example from sounddevice documentation [1].
#!/usr/bin/env python3
"""Plot the live microphone signal(s) with matplotlib.

Matplotlib and NumPy have to be installed.

"""
import argparse
import queue
import sys

from matplotlib.animation import FuncAnimation
import matplotlib.pyplot as plt
import numpy as np
import sounddevice as sd


def int_or_str(text):
    """Helper function for argument parsing."""
    try:
        return int(text)
    except ValueError:
        return text


def audio_callback(indata, frames, time, status):
    """This is called (from a separate thread) for each audio block."""
    if status:
        print(status, file=sys.stderr)
    # Fancy indexing with mapping creates a (necessary!) copy:
    q.put(indata[::args.downsample, mapping])


def update_plot(frame):
    """This is called by matplotlib for each plot update.

    Typically, audio callbacks happen more frequently than plot updates,
    therefore the queue tends to contain multiple blocks of audio data.

    """
    global plotdata
    while True:
        try:
            data = q.get_nowait()
        except queue.Empty:
            break
        shift = len(data)
        plotdata = np.roll(plotdata, -shift, axis=0)
        plotdata[-shift:, :] = data
    for column, line in enumerate(lines):
        line.set_ydata(plotdata[:, column])
    return lines


if __name__ == "__main__":

    parser = argparse.ArgumentParser(add_help=False)
    parser.add_argument(
        '-l', '--list-devices', action='store_true',
        help='show list of audio devices and exit')
    args, remaining = parser.parse_known_args()
    if args.list_devices:
        print(sd.query_devices())
        parser.exit(0)
    parser = argparse.ArgumentParser(
        description=__doc__,
        formatter_class=argparse.RawDescriptionHelpFormatter,
        parents=[parser])
    parser.add_argument(
        'channels', type=int, default=[1], nargs='*', metavar='CHANNEL',
        help='input channels to plot (default: the first)')
    parser.add_argument(
        '-d', '--device', type=int_or_str,
        help='input device (numeric ID or substring)')
    parser.add_argument(
        '-w', '--window', type=float, default=200, metavar='DURATION',
        help='visible time slot (default: %(default)s ms)')
    parser.add_argument(
        '-i', '--interval', type=float, default=30,
        help='minimum time between plot updates (default: %(default)s ms)')
    parser.add_argument(
        '-b', '--blocksize', type=int, help='block size (in samples)')
    parser.add_argument(
        '-sr', '--samplerate', type=float, default=16000, help='sampling rate of audio device')
    parser.add_argument(
        '-n', '--downsample', type=int, default=1, metavar='N',
        help='No downsample (default: %(default)s)')
    args = parser.parse_args(remaining)
    if any(c < 1 for c in args.channels):
        parser.error('argument CHANNEL: must be >= 1')
    mapping = [c - 1 for c in args.channels]  # Channel numbers start with 1
    q = queue.Queue()

    try:
        if args.samplerate is None:
            device_info = sd.query_devices(args.device, 'input')
            args.samplerate = device_info['default_samplerate']

        length = int(args.window * args.samplerate / (1000 * args.downsample))
        plotdata = np.zeros((length, len(args.channels)))

        fig, ax = plt.subplots()
        lines = ax.plot(plotdata)
        if len(args.channels) > 1:
            ax.legend([f'channel {c}' for c in args.channels],
                      loc='lower left', ncol=len(args.channels))
        ax.axis((0, len(plotdata), -1, 1))
        ax.set_yticks([0])
        ax.yaxis.grid(True)
        ax.tick_params(bottom=False, top=False, labelbottom=False,
                       right=False, left=False, labelleft=False)
        ax.text(0.01, 0.99, f'Sample rate: {args.samplerate/args.downsample} Hz', transform=ax.transAxes, va='top', ha='left')

        fig.tight_layout(pad=0)

        stream = sd.InputStream(
            device=args.device, channels=max(args.channels),
            samplerate=args.samplerate, callback=audio_callback)
        ani = FuncAnimation(fig, update_plot, interval=args.interval, blit=True)
        with stream:
            plt.show()
            
    except Exception as e:
        parser.exit(type(e).__name__ + ': ' + str(e))
Save it as sd_plot_input.py (or whatever name.py) and run it with the following commands. See the video above for the sample output.
$ python3 sd_plot_input.py


Reference: 

  1. https://python-sounddevice.readthedocs.io/en/0.4.6/examples.html#plot-microphone-signal-s-in-real-time

Thursday, July 20, 2023

Memilih default Kernel Linux di Ubuntu (22.04)

Setelah upgrade ke kernel 5.19, terjadi masalah "screen flickering" pada Laptop (kantor) saya, Dell XPS 9320. Padahal laptop ini adalah certified hardware, Link: https://ubuntu.com/certified/202112-29761. Hanya saja Canonical sudah berdalih, karena saya membelinya dengan pre-installed Windows (11), bukan Ubuntu.

...Standard images of Ubuntu may not work well, or at all. (https://ubuntu.com/certified/202112-29761)

Karena menyebabkan sakit mata jika screen flickering ini dibiarkan, saya mencari solusinya. Biasanya ini adalah permasalahan yang disebabkan karena update kernel, dan benar saja AskUbuntu memberikan jawaban yang serupa:

 

https://askubuntu.com/questions/1455799/ubuntu-22-04-2-screen-flickering-glitches.

 

Untuk mengecek kernel di Ubuntu, saya menggunakan perintah berikut.
$ uname -a
Linux bagus-XPS-9320 linux-image-5.19.0-46-generic #6-Ubuntu SMP PREEMPT_DYNAMIC Tue Jan 24 18:24:09 UTC 2023 x86_64 x86_64 x86_64 GNU/Linux
Permasalahannya ada di kernel 5.19 yang saya gunakan tersebut.
 
Untuk melihat list kernel yang tersedia bisa dengan cara berikut (bisa juga lewat Advanced options saat booting).
$ sudo apt list --installed | grep linux-image
linux-image-5.15.0-60-generic/now 5.15.0-60.66 amd64 [installed,local]
linux-image-5.19.0-46-generic/jammy-updates,jammy-security,now 5.19.0-46.47~22.04.1 amd64 [installed,automatic]
linux-image-6.0.0-1012-oem/now 6.0.0-1012.12 amd64 [installed,local]
linux-image-6.1.0-1006-oem/now 6.1.0-1006.6 amd64 [installed,local]
linux-image-generic-hwe-22.04/jammy-updates,jammy-security,now 5.19.0.46.47~22.04.21 amd64 [installed,automatic]
bagus@xps-9320:~$ 

Solusinya adalah mengganti kernel. Cara pertama untuk mengetes solusi ini adalah reboot dan masuk ke Advanced options dan memilih kernel lain (dalam hal ini 6.1) dan cek apakah screen flickering masih terjadi.

Cara kedua adalah dengan mengganti kernel 5.19 menjadi 6.1 by-default secara otomatis. Ini adalah yang saya gunakan, tapi carannya beda dengan cara yang diterangkan oleh AskUbuntu di atas (tapi didapat dari AskUbuntu lainnya [2]). Pertama back-up file grub.
sudo cp /etc/default/grub /etc/default/grub.bak
Kedua edit `LINUX_DEFAULT=0` menjadi kernel yang dituju. Dalam hal ini saya menggunakan menu "Advanced options for Ubuntu" dan kernelnya, digabung dengan tanda ">". Berikut isi grub saya. Perhatikan dua baris teratas, baris pertama adalah konfigurasi lama (dikomen) dan baris kedua adalah konfigurasi baru.
$ sudo vim /etc/default/grub
#GRUB_DEFAULT=0
GRUB_DEFAULT="Advanced options for Ubuntu>Ubuntu, with Linux 6.1.0-1006-oem"
GRUB_TIMEOUT_STYLE=hidden
GRUB_TIMEOUT=10
GRUB_DISTRIBUTOR=`lsb_release -i -s 2> /dev/null || echo Debian`
GRUB_CMDLINE_LINUX_DEFAULT=""
GRUB_CMDLINE_LINUX=""
#GRUB_CMDLINE_LINUX_DEFAULT="i915.enable_dc=0 intel_idle.max_cstate=2"
Terakhir adalah update-grub
$ sudo update-grub

Dan reboot laptop. Setelah sekian lama mengetik tulisan ini, screen flickering tidak terjadi. 


Referensi:

  1. https://askubuntu.com/questions/1455799/ubuntu-22-04-2-screen-flickering-glitches
  2. https://askubuntu.com/questions/216398/set-older-kernel-as-default-grub-entry

Wednesday, May 31, 2023

Kenapa tidak ada kursi bernomor I di pesawat?

 



Sudah lama saya bertanya-tanya, ketika naik pesawat, kenapa tidak ada nomor tempat duduk "I" di pesawat. Dan hari ini, ketika sesorang menanyakan hal itu (lebih tepatnya komplain), saya langsung googling. Jawaban Google, berdasarkan Wikipedia, adalah sebagai berikut:

On many aircraft, the rightmost seats have letter designations HJK, skipping the letter I. This is because each seat has a row number followed by letter; letters that may be confused with numbers (I, O, Q, S, or Z) must be avoided, usually for people with dyslexia.

Jadi jawabannya, kenapa tidak ada huruf I, juga tidak ada huruf O, Q, S, dan Z, di pesawat adalah untuk menghindari keambiguan.

I ambigu dengan angka 1,

O dan Q ambigu dengan angka 0,

S ambigu dengan angka 5, dan

Z ambigu dengan angka 2.

Orang dengan disleksia, kondisi di mana seseorang mengalami kesulitan belajar yang menyebabkan masalah pada proses menulis, mengeja, berbicara, dan membaca, akan sulit membedakan huruf-huruf di atas sehingga akan kesulitan menemukan tempat duduknya di pesawat.

Monday, April 10, 2023

DON'T DO USELESS THINGS!

 

Apa contoh hal-hal yang tidak berguna:

  • Memaksa anggaran untuk hal yang tidak perlu. Saya pernah mendapatkan anggaran yang harus dipakai. Karena tidak ada kebutuhan khusus, saya ngasal aja memakai anggaran tsb untuk membeli PC dengan spek rendah. Walhasil PC tersebut tidak terpakai (meski foldable, touch screen, dll).
  • Membuat peraturan yang terlalu keras dan tidak ada relevansinya. Contohnya, kalau tidak menjalankan XXX maka akan mendapatkan YYY. Cek lagi, apakah YYY berkorelasi (positif) dengan XXX? Apakah YYY, misalnya sanksi, itu produktif?
  • Media sosial, termasuk YouTube, IG, dll. Kadang kita membuka youtube dengan tujuan untuk belajar, untuk berbagi. Cek lagi, apakah dari 100% waktu kita bermedsos atau menonton youtube, IG, Facebook 90% tercapai? Jika tidak, berhenti dari memakai aplikasi tsb, meski bermanfaat.
  • Ketika kita sudah belajar untuk tidak menggunakan waktu kita untuk hal sia-sia, maka jangan biarkan orang lain (baligh mukallaf) untuk melakukan hal yang serupa sia-sia.
  • Cari hiburan? Apakah Nabi cari hiburan? Kebanyakan hiburan adalah hal yang sia-sia, hanya sedikit yang tidak termasuk di dalamnya. Memanah, berkuda, dan berenang adalah hiburan, tapi bukan sia-sia.
  • Cara mudah untuk mendeteksi apakah hal tersebut sia-sia adalah: apakah ada manfaatnya ketika kita melakukan hal tersebut?
  • Ingat kembali misi (hidup, organisasi), cek apakah yang yang dilakukan sudah selaras dengan misi tsb.
     

Friday, March 31, 2023

Research Plan 2023

Seperti biasa, bulan April adalah tahun barunya jepang (Fiscal year、年度). Satu tahun (akademik, fiskal, kerja, dll. kecuali pajak) dihitung per 1 April dan berakhir 31 Maret. Jadi kalau bisa, pas hidup di Jepang, lahir tanggal 1 April, meninggal tanggal 31 Maret. Kenapa begitu? Kalau lahir 20 April, anda tidak bisa mengikuti sekolah (SD, SMP, SMA) tahun itu juga kalau belum umurnya. Misalnya umur minimal SD adalah 6 tahun per 1 April. Kalau lahir 20 April berarti nunggu tahun depannya. Begitu juga beasiswa, kerja, dll, hampir semua dimulai per 1 April.

Singkat saja, berikut adalah rencana penelitian saya satu tahun mendatang. Tahun ini saya akan fokus mengembangkan sistem multilingual speech emotion recognition (SER) dengan riset tambahan tentang anomaly detection (vibration and sound) dan melanjutkan riset sebelumnya tentang text-independent speech emotion recognition. Semoga semua luaran tahun ini bisa tercapai, alih-alih bisa melebihi luaran yang diharapkan.




Tuesday, March 14, 2023

Kopi dan Produktifitas

 Dalam sebuat Twitter feed, seorang user berkicau?

Adakah tool untuk meningkatkan produktivitas selain dengan minum kopi?

Ada banyak jawaban dari kicauan itu. Ada yang menjawab dengan minuman lain kesukaannya, jus buah. Ada yang menyarankan musik klasik. Ada juga yang menyarankan musik khusus yang dibuat untuk menemani kerja (khususnya programming, https://musicforprogramming.net/latest/).  Saya baca-baca jawabannya lainnya, tidak ada yang masuk (untuk saya).

Saya pernah mencoba bekerja sambil mendengarkan musik (seperti musik programming di atas), dan kadang berhasil. Sebagai seorang muslim, saya juga mencoba bekerja sambil mendengarkan tilawah, dan kadang berhasil. Namun, sampai sekarang, saya belum menemukan tool lain yang bisa meningkatkan produktivitas (yakni: fokus, membuat kerja jadi selesai, efektif, dan efisien) seampuh kopi.

Khusus untuk tilawah, permasalahan utama ada pada keistiqomahan. Untuk minum kopi, saya otomatis menyambar gelas di disamping saya tapi tidak otomatis memutar tilawah padahal saya membutuhkannya. Qori favorit saya: Ali Jaber, Salaah Ba'uthman,  dan Abdulallah Al-Mathrood. Suara tilawah menurut saya lebih mirip musik klasik (dari sisi ke efek gelombang otak) daripada music for programming di atas. Tilawah dipercaya meningkatkan laju pertumbuhan tanaman. Senada dengan musik klasik dan tilawah, suara juga dapat dimodifikasi untuk menstimuli gelombang yang bisa mentrigger gelombak otak tertentu via brainwave synchronization. Ketiganya belum dapat menggantikan kedudukan kopi untuk meningkatkan produktivitas. Kalau mau dibuat variasi, Kopi dan Tilawah adalah perpaduan paling sempurna seperti yang dikampanyekan Nuh Saunders

Kembali ke pertanyaan yang mirip dengan pertanyaan user Twitter di atas: adakah tool yang bisa meningkatkan produktivitas seampuh kopi? Tidak ada. Kalau efektivitasnya di bawah kopi, mungkin ada. Tapi buat apa...? Kalau ada tool yang lebih efektif, pastinya pilih yang lebih efektif, kecuali bosan.

Sediakan kopi untuk meningkatkan kinerja anda dan teman-teman anda.

Friday, March 10, 2023

Antara Tukang Cuci Piring dan Editor Jurnal

Alkisah. Seorang teman bercerita, dia mendapat dua pilihan pekerjaan sampingan. Pertama sebagai pencuci  piring. Kedua sebagai editor jurnal. Kerena bimbang untuk memilih salah satu diantara dua pekerjaan tersebut, beliau meminta pertimbangan istrinya. Berikut diskusi mereka.

Istrinya bertanya, 

"Berapa waktu yang dibutuhkan untuk mereview satu jurnal?" 

Sang suami menjawab, 

"Kira-kira empat jam". 

Istri melanjutkan, 

"Berapa bayaran review dan mengedit satu jurnal itu?"

Suami menjawab,

"Seratus dua puluh lima ribu rupiah". 

Istri bertanya lagi, 

"Berapa bayaran cuci piring?"

Suami menjawab:

"1000 yen jam per jam".

Akhirnya si istri mengakhiri diskusi dengan solusinya.

"Ya udah, kamu ambil kerjaan cuci piring saja, kamu sedekahkan separo dari bayaran cuci piringmu ke masjid di Indonesia, itu jauh lebih bermanfaat dari menjadi bekerja paruh waktu sebagai editor jurnal."

Wednesday, March 08, 2023

Dari Narita, Cikarang, Jakarta, Solo, dan Madiun

Sebuah cerita dari perjalanan selama lima hari saat pulang ke Indonesia (Januari 2013).

Berangkat dari Kameyama-shi, selasa pagi pukul 04.30 JST, saya di jemput oleh Kokubu-san, kemudian kami ke rumah sachou (Pak Direktur) untuk menjemput sachou dan dilanjutkan ke Tsu Port, Ibukota propinsi Mie di Jepang. Kapal yang membawa kami dari Tsu Seaport ke Central Japan Airport, Chubu, berangkat tepat pukul 6.00. Selama kurang lebih sejam berada di kapal cepat, akhirnya kami mencapai Chubu airport.

Di Chubu air port, tiga moda transportasi disatukan: udara, laut dan darat. Begitu praktis dan efisiennya kehidupan di Jepang. Semuanya di desain untuk memudahkan hidup, bukan mempersusahnya. Inilah realiasi pajak yang saya bayar tiap bulannya di Negeri ini. Pemerintah (Jepang) pun melaksanakan tugasnya (memudahkan hidup rakyat) dengan cukup baik.

Dari Chubu, kami berangkat naik pesawat ke Narita sekitar pukul 8.30, dengan waktu perjalanan sekitar 40 menit. Sebelum jam 10 kami sudah mendarat di Narita, Tokyo. Dari terminal domestik Narita, kami oper (Jepang: norikae) dengan shuttle bis bandara menuju terminal 1, terminal international yang akan membawa kami ke Indonesia.

Jika pergi dari Jepang ke Indonesia, pilihan terbaik memang menggunakan Garuda, tanpa bermaksud promosi. Pengurusan visa (untuk warga negara asing seperti Jepang) bisa dilakukan setelah check in, sehingga kita tidak perlu mengurus visa on arrival ketika datang di Indonesia. Pesawat Garuda membawa kami meninggalkan Tokyo pukul 12.50 waktu setempat, dan kami tiba di Jakarta pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ditempuh selama 6 jam termasuk perbedaan waktu antara Narita - Tokyo.

Satu hal agar kita tidak rugi selama naik pesawat adalah dengan memaksimalkan fasilitas yang ditawarkan pesawat. Tiga film saya tonton dalam rentang beda waktu 6 jam. Namun fasilitas lain sepertinya Garuda kalah dengan maskapai lain, seperti Korean Air. Dengan harga tiket yang tidak jauh beda, Korean Air menawarkan fasilitas lebih (per tahun 2013).

Pertama tujuan kami adalah Cikarang (setelah mendarat di Sukarno-Hatta AP), di sana kami tinggal selama tiga hari sebelum bertolak ke Madiun via Solo (Adi Sumarno AP). Dari Solo ke Madiun, dari Madiun ke Solo lagi untuk menemui LPK (lembaga pelatihan kerja), milik orang yang memperkenalkan diri sebagai seorang yang berdarah biru, di dekat stadion Manahan. Kemudian, kami balik ke Jakarta untuk ke Narita. Perjalanan lima hari yang melelahkan untuk mengobati kerinduan kepada orang tua dan negeri tercinta.

Tuesday, February 21, 2023

Multi-device PCs with single keyboard and mouse

In today's digital age, it's common for people to use multiple devices for their work or personal use. Whether it's for multitasking or switching between devices, using multiple keyboards and mice can be a frustrating and inefficient experience. Fortunately, there's a solution to this problem: using a single keyboard and mouse for multiple PCs. This setup not only saves desk space but also improves productivity and reduces clutter. In this blog post, we'll explore the importance of using a single keyboard and mouse for multiple PCs, the benefits it offers, and how to set up this configuration for optimal performance. So, let's dive in and learn why using a single keyboard and mouse is a game-changer for those who use multiple devices! 

Dell KM7321
Dell KM7321 multi-devices keyboard and mouse, as advertised on Dell's web. This keyboard and mouse can connect up to three PCs; one PC with a Bluetooth dongle and two PCs with embedded Bluetooth or additional Bluetooth dongles.


PC setup 

Here is my setup using three PCs (two desktops and one laptop).



Keyboard + Mouse: Dell KM7321W (KM7321WYG) 
Technology: Bluetooth (universal pairing receiver)

I mainly used two PCs as follows (with a laptop as an optional third device). It also works for three PCs; however, since the third is a laptop on a different table, it will make my work more complicated than using two PCs. 

PC1: Iiyama (Dell Bluetooth dongle) 
I set the universal pairing dongle in this PC Iiyama. The OS is Ubuntu 20.04. Other hardware may not directly impact the performance, but I used the following; 95 GB RAM, RTX3090 (full four monitors), with i7-10900 CPU. Should work on other hardware too,

PC2: HP Omen (Embedded Bluetooth) 

The second PC is the HP Omen 30 L (2021). GPU is RTX 3090, 64GB RAM, and Ubuntu 20.04 as the OS. I intended to use this PC as a computing unit, while the first one, PC Iiyama, for all tasks (paper writing, computation, etc.). For bigger computation, I used another PC with double RTX 3090. Result There is no software configuration needed. The only problem (previously) is to connect the keyboard to the second PC. For connecting the mouse, both PC 1 and PC 2 can connect smoothly. To connect the keyboard, we need to input six characters shown when pairing to the PC (shown in the PC). Since it was a keyboard, I didn't understand how to input these digits (like a smartphone or tablet). I tried it on Windows, and it shows a similar requirement (asking to enter six digits for the keyboard). I tried to push the number shown on the PC via the keyboard button (without knowing the pressed digits were correct) and then pressed enter. Whoala, the keyboard is now connected to the second PC. I tried similar things on Ubuntu, and it works. Finally, the image below is now my working workstation (two desktops, both the first and second PC are not shown since it is hidden under my table, only the monitors are shown).


A single keyboard to rule all three PCs.

PC3: IIyama 17" (Optional, just to test, embedded/buil-in bluetooth)
The third PC is a laptop with Windows 10. So, besides multi-device, this setup can also work in multi-OS. Since it is a hardware-based, different approach from software-based like Synergy, it is expected to work on any OS as long as the hardware supports Bluetooth.

Note, as advertised, the mouse and keyboard support Swift pairing (without inputting the digits with a close distance between both devices). But, as I reported, this feature fails on my PCs. It may be too far. Being able to connect both devices (keyboard and second/third PC) via a physical button is enough to make the device work as intended.

Update after a week of use

Adjusting the monitor position is important. I used three monitors for the main PC (PC IIyama) and one monitor for the second PC (HP Omen, mainly for coding).

Since I have an additional mouse (the old one), I just need to change the keyboard only for two devices. It is smoother than changing both the keyboard and mouse.

It is also more convenient to use a single keyboard and mouse than using "ssh" for remote work. The use of GUI-based remote control like TeamViewer has been banned in my office. So, this solution is worth trying.

Does it work with an external Bluetooth dongle?
I haven't tried it yet (still ordering a Buffalo Bluetooth dongle). I will report here once a test has been performed.  Yes. It does work with external Bluetooth. See the manual page for details.

Reference: 
 [1] https://www.dell.com/support/home/en-us/product-support/product/dell-premier-multi-device-wir-kybrd-mse-km7321w/docs

Tuesday, January 10, 2023

Dual Afiliasi

Salah satu cita-cita saya yang belum tercapai adalah dual afiliasi, bekerja di dua institusi dan memberi manfaat untuk keduanya dengan mengisi kekurangan satu insitusi dengan kelebihan institusi lainnya, begitu pula sebaliknya. Contoh terbaik untuk kasus ini adalah Bjorn Schuller (Imperial College dan Audeering), Yan Lecun (Facebook dan New York University), Junichi Tsujii (AIST dan Manchester University), dan Junichi Yamagishi (NII dan Edinburg University).

Contoh dari manfaat dual afiliasi adalah pada riset dan publikasi akademik. Biaya publikasi akan tertutupi oleh institusi yang secara finansial lebih stabil. Keuntungan untuk institusi yang secara finansial lebih stabil adalah pada kolaborasi. Contohnya pada institusi privat (Swasta), dimana butuh usaha ekstra untuk merekrut peneliti dan kolaborator. Sebaliknya, hal tersebut mudah dilakukan di universitas. Institusi privat tidak perlu mengeluarkan waktu dan biaya ekstra untuk proyek mereka.

Manfaat utama dual afiliasi ada pada siklus teori dan praktek. Dosen (seperti Lecun) yang bekerja di sektor swasta secara dual afiliasi akan dengan mudah menangkap permasalahan nyata (praktek) di lapangan/industri, alih-alih permasalahan teoritik di buku teks. Mahasiswa dari dosen yang bersangkutan juga akan memecahkan permasalahan nyata, the real problem, bukan sebatas permasalahan yang ada di buku teks. Permasalahan (soal-soal) di buku teks tetap penting untuk mengasah teori atau konsep dasar dan kerangka berpikir dalam menyelesaikan permasalahan nyata.

Double Universitas

Selain dual afiliasi universitas dan industri, dual afiliasi bisa juga dilakukan pada dua (atau lebih) kampus yang berbeda. Banyak dosen China yang mengambil dual afiliasi dengan universitas Jepang untuk memanfaatkan kebaikan dan kelebihan universitas Jepang (~2020). Dosen-dosen China tersebut tinggal di Jepang dan hanya pulang ke China ketika dibutuhkan saja. Dengan cara yang sama, banyak dosen-dosen Eropa bertebaran tidak di negaranya (sesama Uni Eropa) dengan memanfaatkan kelebihan-kelebihan kampus papan atas Uni Eropa untuk mendongkrak reputasi universitas Uni Eropa lainnya.

Keterbatasan Untuk Dosen PNS

Ada keterbatasan PNS (atau dosen yang berstatus sebagai PNS). Keterbatasan rangkap jabatann tersebut seperi yang didiskusikan di sini: 

https://www.hukumonline.com/klinik/a/hukumnya-rangkap-menjadi-asn-sekaligus-pegawai-swasta-lt5ed13c19b8117

Diperlukan usaha ekstra untuk mewujudkan dual afiliasi sebagai dosen PNS dan praktisi di tempat lain (atau peneliti di institusi lain). Hukum perlu diubah agar lebih fleksibel demi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di negara kita.


p.s.:Dual afilias yang saya maksud adalah yang bersifat long-term di dua institusi, akademik dan universitas luar negeri atau industri/institusi riset. Bukan tugas belajar, izin belajar dan sejenisnya.

Wednesday, January 04, 2023

Tools for Academic Writing in 2023

When writing a scientific paper, I use several tools below to boost and speed up my writing process. Hence, I only need two weeks to a month to complete the first version of my manuscript (after the experiment has been conducted). Two tools are paid: Copilot and Grammarly. Before going down to the list below, you may also be interested in my resources for academic writing - word concordance [1]. For last year's tool (2022), specializing on both research and paper writing instead of paper writing only, you can check it here [2].

  1. Mendeley (the old desktop version, not the new reference manager, to create a BIB file automatically)
  2. Grammarly (vscode plugin)
  3. Latex Workshop (vscode plugin)
  4. Copilot (vscode plugin)
  5. ChatGPT (to ask questions)
By using these tools, I DON'T need to:
  • Create bibliography manually
  • Sometimes, write all sentences in paragraphs since Copilot will do it.
  • Check the grammar manually.
  • Create Table, Figure, and Equation manually in Latex (thanks to Latex Workshop).
Other tools (unexplored well, in progress for adaptation)
  1. https://www.explainpaper.com (tool to explain any hard-to-understand terms/sentences in a paper)
  2. https://elicit.org/ (like ChatGPT, but with reference)
  3. LTeX – LanguageTool grammar/spell checking (alternative to Grammarly, free)

Reference
[1] http://bagustris.blogspot.com/2020/07/resources-for-academic-writing-word.html
[2] https://bagustris.blogspot.com/2023/01/tools-i-used-for-accelerating-science.html

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...